
Pasokan Batu Bara RI Melimpah, Tapi PLN Kritis, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) disebut mengalami kondisi kritis stok batu bara beberapa waktu lalu karena banyak perusahaan batu bara yang tidak memenuhi komitmen atau kontrak. Alhasil, sebanyak 34 perusahaan batu bara dikenakan sanksi tidak boleh ekspor oleh Kementerian ESDM.
Lantas, apa masalah utama terjadinya kondisi tersebut? Bukankah RI kaya akan batu bara, bahkan tercatat sebagai produsen batu bara terbesar ketiga dunia?
Menanggapi hal ini, Ketua Indonesia Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai, dari sisi produksi batu bara saat ini seharusnya tidak ada masalah dalam pemenuhan pasar dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) karena persentase yang wajib dijual ke pasar domestik hanya 25% dari produksi tahunan tiap produsen.
Namun menurutnya yang perlu diperbaiki adalah komitmen perusahaan dan manajemen rantai pasok.
"Kalau jumlahnya seharusnya tidak jadi masalah, sehingga harus dipecahkan permasalahan ini dari sisi supply chain dan komitmen perusahaan," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (13/8/2021).
Seperti diketahui, produksi batu bara nasional pada 2021 ini ditargetkan mencapai 625 juta ton, naik dari rencana awal 550 juta ton. Sementara untuk target pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (DMO) tahun ini sebesar 137,5 juta ton. Oleh karena itu, menurutnya seharusnya tidak ada isu dari sisi pasokan batu bara.
Menurut Singgih, komitmen dari pengusaha lah yang harus diperbaiki untuk kepentingan kelistrikan nasional. Walaupun penerimaan negara dari devisa ekspor batu bara ini juga besar, ditambah adanya lonjakan harga batu bara saat ini, namun bagaimana pun pasokan batu bara untuk dalam negeri, khususnya untuk kepentingan pembangkit listrik harus diutamakan karena menyangkut kepentingan masyarakat.
"Memang permasalahan di komitmennya, makanya Kementerian ESDM tegas untuk mengingatkan komitmen itu harus dibangun, apalagi sumber daya alam ini milik rakyat, walaupun ekspor juga penting," jelasnya.
"Kebutuhan batu bara nasional harus menjadi prioritas pengelolaan industri batu bara," tambahnya.
Di sisi lain, menurut Singgih, PLN juga harus mempersiapkan keandalan dari rantai pasok (supply chain), mulai dari perbaikan kondisi pelabuhan bongkar muat (loading) untuk pemasok hingga pembangunan coal processing plant atau pabrik pengolahan batu bara supaya mendapatkan spesifikasi yang dibutuhkan.
Seperti diketahui, dalam peraturan DMO batu bara juga diatur terkait harga batu bara untuk kepentingan dalam negeri ini, yakni maksimal US$ 70 per ton. Namun untuk harga pasar kini jauh lebih tinggi bahkan mencapai US$ 167 per ton pada perdagangan di pasar ICE Newcastle (Australia) kemarin, Kamis (12/08/2021). Ini merupakan rekor tertinggi setidaknya sejak 2008.
Sebelumnya, Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM, Muhammad Wafid mengatakan beberapa pembangkit PLN sudah dalam kondisi kritis pasokan batu bara. Bahkan, stok batu bara di beberapa pembangkit kurang dari 10 hari. Inilah yang memicu Kementerian ESDM memberikan sanksi ini kepada 34 perusahaan pada 7 Agustus 2021 lalu.
Namun kini, hampir sepekan setelah 34 perusahaan batu bara itu dikenakan sanksi pelarangan ekspor, kondisi pasokan batu bara di beberapa pembangkit listrik itu sudah mengalami perbaikan. Hal ini diungkapkan Direktur Energi Primer PLN Rudy Hendra Prastowo.
"Sudah ada peningkatan. Komitmen dari pemasok juga meningkat," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (12/8/2021).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Batu Bara Domestik US$70 Jauh dari Pasar, Perlu Diubah?
