
Masuk Fortune Global 500, Apa Kelebihan Pertamina?

Lalu mengapa Pertamina tahun ini bisa masuk kembali ke daftar Fortune Global 500 meski mencetak laju penurunan lebih kencang, yakni sebesar 24,3%, penurunan pendapatan pada 2020 dibandingkan 2019 atau lebih parah dari penurunan pendapatan dari 2018 ke 2019 yang hanya sebesar 5,8%?
Apalagi jika bicara profitabilitas, laba bersih Pertamina justru pada 2020 tertekan sebesar 58,5%, menjadi US$ 1,05 miliar. Sementara itu, laba bersih pada tahun 2019-tatkala Pertamina terdepak dari daftar-justru flat atau tak berubah, di level US$ 2,53 miliar.
Jawaban pastinya tentu saja hanya yang punya hajat yang mengetahuinya secara pasti. Sampai sekarang, juri majalah Fortune tidak memberikan alasan mengapa tahun lalu Pertamina dikeluarkan, dan tahun ini dimasukkan kembali meski kinerja perseroan dari sisi pendapatan justru tertekan.
Namun mereka mengakui bahwa penurunan pendapatan terjadi di hampir semua perusahaan yang masuk di daftar mereka. Setelah sempat mencetak total pendapatan US$ 33,3 triliun pada edisi 2020-yang juga rekor tertinggi sepanjang sejarah, total pendapatan ke-500 perusahaan di daftar mereka turun 4,8% menjadi US$ 31,7 triliun (2021).
"Ini merupakan penurunan pertama dalam setengah abad terakhir. Biang pemicunya, tentu saja, Covid-19, yang memicu luka besar di ekonomi global akibat lockdown. Penjualan kumulatif di sektor otomotif dan energi, misalnya, anjlok lebih dari 10%," tulis perseroan dalam kata pengantar di situs resminya.
Oleh karena itu, tekanan yang dihadapi Pertamina bukanlah kondisi khusus, misalnya karena manajemen yang tidak andal atau krisis ekonomi seperti tahun 1997. Sebaliknya, jika kita mengacu pada laporan keuangan, perseroan justru membukukan perbaikan dari sisi beban dan beberapa peningkatan pada pos tertentu yang jarang ditemui pada tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai contoh, di pos beban Pertamina sepanjang tahun lalu mampu meningkatkan efisiensi dengan memangkas tiga pos beban utamanya, yakni beban pokok penjualan, beban produksi, dan beban pemasaran. Ketiganya turun masing-masing sebesar 30,9%, 0,4% dan 13,9%.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2019 beban pokok penjualan turun hanya 7,5% dan beban produksi malah naik 14%, sementara beban pemasaran hanya turun 1,1%. Artinya, pandemi justru membuat perseroan lebih berhasil memangkas beban operasionalnya.
![]() |
Sementara itu, dari sisi pendapatan justru terdapat peningkatan penjualan ekspor (minyak mentah, olahan, dan gas bumi) sebesar 5,8% secara tahunan menjadi US$ 3,8 miliar. Padahal tahun lalu adalah tahun menantang, sementara pada tahun 2019 nilai ekspor produk tersebut justru turun 0,2% menjadi US$3,2 miliar.
Sayangnya, penjualan BBM di dalam negeri merosot akibat lesunya aktivitas perjalanan dan transportasi di kala pandemi. Pos tersebut di neraca Pertamina anjlok 24,5%, atau setara US$ 10 miliar, menjadi US$ 33 miliar.
(ags/ags)