Masuk Fortune Global 500, Apa Kelebihan Pertamina?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
03 August 2021 19:14
Pertamina
Foto: REUTERS/Darren Whiteside

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) kembali masuk ke dalam daftar Fortune Global 500 tahun 2021, setelah sempat terdepak tahun lalu. Pertamina menjadi sebagai satu-satunya perusahaan Indonesia yang masuk ke dalam daftar ini.

Berdasarkan daftar Fortune Global 500 tahun 2021, Pertamina berada di peringkat 287 setelah mencatatkan pendapatan sebesar US$ 41,47 miliar (Rp 595 triliun) dan laba bersih US$ 1,05 miliar pada tahun buku 2020. Pendapatan itu merupakan yang terbesar di seluruh Indonesia.

qSumber: Fortune

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan tantangan pandemi tak menyurutkan perseroan untuk tetap menjaga kinerja positif, sehingga di tengah tekanan perseroan masih mencetak laba positif. Kuncinya ada pada inovasi, terobosan bisnis, dan transformasi organisasi.

"Hal ini juga merupakan pengakuan dunia internasional bahwa Pertamina sejajar dengan world class company lainnya," tutur Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, melalui keterangan pers, pada Selasa (03/08/2021).

Bagi perseroan, ini merupakan kabar positif setelah tahun lalu terlempar dari daftar tersebut. Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, ini merupakan kali yang kedelapan perusahaan yang berdiri tahun 1957 tersebut masuk di daftar yang disusun oleh majalah global tersebut.

Pertamina masuk ke jajaran tersebut sejak tahun 2013, dan sempat terdepak pada tahun lalu tanpa alasan yang jelas. Dugaan yang berkembang saat itu adalah penurunan kinerja pendapatan per 2019 sebesar 5,7% menjadi US$ 54,6 miliar, dari capaian 2018 senilai US$ 57,9 miliar.

VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman saat itu sempat melayangkan surat kepada pihak Fortune, mempertanyakan proses pemeringkatan daftar 500 perusahaan pendapatan terbesar dunia tersebut. Pasalnya, besaran pendapatan perseroan masih lebih tinggi dari Nippon Steel Corporation yang masuk ke daftar tersebut dengan pendapatan hanya US$ 54,45 miliar.

"Daftar yang dibuat Fortune Global 500 tersebut merupakan aksi monitoring pasif yang dilakukan Fortune, tanpa melakukan klarifikasi langsung kepada Pertamina. Dengan revenue yang diraih Pertamina pada 2019, seharusnya kami masih terdaftar di posisi 198 Fortune Global 500," kata Fajriyah dalam keterangan tertulis, pada Senin (17/8/2020).

Pemeringkatan Fortune Global 500 adalah ajang tahunan yang dilakukan majalah yang berbasis di Amerika Serikat (AS) tersebut sejak tahun 1955. Mengacu pada pernyataan resminya, mereka membuat daftar berdasarkan pendapatan konsolidasi (memasukkan pendapatan anak usaha).

Di luar itu, mereka juga mengklaim memasukkan indikator lainnya seperti penyertaan modal pemegang saham, kapitalisasi pasar, keuntungan, jumlah karyawan. Bahkan sejak tahun 1990, indikator negara asal perusahaan juga dipertimbangkan dalam Fortune Global 500.

"Indikator lain" inilah yang kemudian menjadi abu-abu. Mengacu pada penilaian utama mereka, yakni pendapatan, Pertamina sebenarnya membukukan penurunan pendapatan per 2020 akibat efek pandemi, yakni sebesar 24,3% dibandingkan capaian tahun 2019 (US$ 54,8 juta).

Lalu mengapa Pertamina tahun ini bisa masuk kembali ke daftar Fortune Global 500 meski mencetak laju penurunan lebih kencang, yakni sebesar 24,3%, penurunan pendapatan pada 2020 dibandingkan 2019 atau lebih parah dari penurunan pendapatan dari 2018 ke 2019 yang hanya sebesar 5,8%?

Apalagi jika bicara profitabilitas, laba bersih Pertamina justru pada 2020 tertekan sebesar 58,5%, menjadi US$ 1,05 miliar. Sementara itu, laba bersih pada tahun 2019-tatkala Pertamina terdepak dari daftar-justru flat atau tak berubah, di level US$ 2,53 miliar.

Jawaban pastinya tentu saja hanya yang punya hajat yang mengetahuinya secara pasti. Sampai sekarang, juri majalah Fortune tidak memberikan alasan mengapa tahun lalu Pertamina dikeluarkan, dan tahun ini dimasukkan kembali meski kinerja perseroan dari sisi pendapatan justru tertekan.

Namun mereka mengakui bahwa penurunan pendapatan terjadi di hampir semua perusahaan yang masuk di daftar mereka. Setelah sempat mencetak total pendapatan US$ 33,3 triliun pada edisi 2020-yang juga rekor tertinggi sepanjang sejarah, total pendapatan ke-500 perusahaan di daftar mereka turun 4,8% menjadi US$ 31,7 triliun (2021).

"Ini merupakan penurunan pertama dalam setengah abad terakhir. Biang pemicunya, tentu saja, Covid-19, yang memicu luka besar di ekonomi global akibat lockdown. Penjualan kumulatif di sektor otomotif dan energi, misalnya, anjlok lebih dari 10%," tulis perseroan dalam kata pengantar di situs resminya.

Oleh karena itu, tekanan yang dihadapi Pertamina bukanlah kondisi khusus, misalnya karena manajemen yang tidak andal atau krisis ekonomi seperti tahun 1997. Sebaliknya, jika kita mengacu pada laporan keuangan, perseroan justru membukukan perbaikan dari sisi beban dan beberapa peningkatan pada pos tertentu yang jarang ditemui pada tahun-tahun sebelumnya.

Sebagai contoh, di pos beban Pertamina sepanjang tahun lalu mampu meningkatkan efisiensi dengan memangkas tiga pos beban utamanya, yakni beban pokok penjualan, beban produksi, dan beban pemasaran. Ketiganya turun masing-masing sebesar 30,9%, 0,4% dan 13,9%.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2019 beban pokok penjualan turun hanya 7,5% dan beban produksi malah naik 14%, sementara beban pemasaran hanya turun 1,1%. Artinya, pandemi justru membuat perseroan lebih berhasil memangkas beban operasionalnya.

qSumber: Pertamina

Sementara itu, dari sisi pendapatan justru terdapat peningkatan penjualan ekspor (minyak mentah, olahan, dan gas bumi) sebesar 5,8% secara tahunan menjadi US$ 3,8 miliar. Padahal tahun lalu adalah tahun menantang, sementara pada tahun 2019 nilai ekspor produk tersebut justru turun 0,2% menjadi US$3,2 miliar.

Sayangnya, penjualan BBM di dalam negeri merosot akibat lesunya aktivitas perjalanan dan transportasi di kala pandemi. Pos tersebut di neraca Pertamina anjlok 24,5%, atau setara US$ 10 miliar, menjadi US$ 33 miliar. 

Meski terdapat tekanan kinerja akibat pandemi, Fortune mencatat bahwa kontribusi 500 perusahaan di dalam daftar mereka tercatat dalam perekonomian dunia masih besar, karena total pendapatan mereka setara dengan sepertiga kue ekonomi dunia. Bedanya hanya satu: maskapai penerbangan yang tahun lalu berada di jajaran tersebut, kini semuanya terpental.

Porsi negara penyumbang nama-nama di jajaran Fortune Global 500 juga tidak berubah, dengan masih kuatnya dominasi China sebagai negara penyumbang terbanyak perusahaan yang masuk di daftar.

Pada tahun ini, ada 135 perusahaan asal Negeri Tirai Bambu yang masuk ke dalam daftar tersebut, atau naik dari tahun sebelumnya sebanyak 124 perusahaan. Amerika Serikat (AS) yang mengekor di posisi kedua hanya mencatatkan tambahan 1 perusahaan, menjadi 122 nama.

Tren tingginya kontribusi wilayah Asia dan turunnya kontribusi Amerika Utara ini sudah terjadi sejak tahun 2001, bersamaan dengan bangkitnya raksasa-raksasa baru di Tiongkok. Kontribusi Eropa juga terus menurun.

Jika pada tahun 2001 AS dan Kanada menyumbang 215 nama, maka pada tahun 2017 jumlahnya susut menjadi 143 perusahaan. Eropa juga turun dari 158 menjadi 143 nama pada kurun waktu yang sama. Sebaliknya, China menerjang dari hanya 10 perusahaan (pada 2001) menjadi 109 (pada 2017).

Jika menyusuri latar belakang sektor yang digarap para jawara di Fortune Global 500, satu hal belum berubah. Dominasi sektor energi masih terlihat, di mana perusahaan dengan pendapatan tertinggi di 31 negara penyumbang para jawara tersebut kebanyakan adalah perusahaan energi.

Ada 15 negara di mana perusahaan berpendapatan tertingginya bergerak di sektor energi, mulai dari BP (Inggris), Royal Dutch Shell (Belanda), Glencore (Swiss), Saudi Aramco (Arab Saudi), BHP (Australia), dan Gazprom (Rusia). Indonesia dengan Pertamina adalah salah satunya.

Hanya saja, semuanya belum mampu mengalahkan Walmart yang berada di posisi puncak Fortune Global 500 selama 8 tahun berturut-turut, dengan perolehan pendapatan sebesar US$ 559 miliar. Sebagai gambaran saja, angka penjualan peritel terbesar AS tersebut baru dibukukan Pertamina setelah berjualan BBM dan produk lainnya selama 13 tahun.

Jika ditotal, pendapatan ke-31 jawara antar negara tersebut mencapai US$ 3,9 triliun, dengan memperkerjakan 8,4 juta pekerja di seluruh dunia. Hanya saja, belum ada nama perusahaan teknologi raksasa atau decacorn yang menggusur posisi mereka di tiap negara.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular