Jakarta, CNBC Indonesia - Belum lama ini, Jerman dan Belgia dilanda banjir bandang nan dahsyat. Total korban jiwa akibat banjir di dua negara tersebut mencapai 191 orang.
Pekan lalu, banjir juga melandai China tepatnya di Provinsi Henan. Korban jiwa akibat bencana ini adalah 25 orang dan tidak sedikit yang terpeerangkap di stasiun kereta api bawah tanah.
Ini adalah contoh kecil bagaimana perubahan iklim bisa mengancam kehidupan sehari-hari. Selain menyebabkan korban jiwa, kerugian ekonomi yang ditanggung juga tidak bisa dibilang kecil.
Di Eropa, perubahan iklim menjadi penyebab terbentuknya badai berkecepatan rendah tetapi bisa bertahan cukup lama di suatu daerah. Inilah yang terjadi di Jerman dan Belgia, mengutip jurnal berjudul Quasi-Stationary Intense Rainstrom Spread Across Europe Under Climate Change karya Abdullah Kahraman, Elizabeth Kendon, Steven Chan, dan Hayley Fowler yang diterbitkan Advanced Earth and Space Science pada 30 Juni 2021.
Menurut para ahli, perubahan iklim menyebabkan curah hujan menjadi lebih intensif. Bahkan hujan deras bisa terjadi selama berminggu-minggu.
"Banjir selalu ada, ini hanya peristiwa acak yang bisa terjadi di mana saja. Namun kita umat manusia membuatnya berubah," tegas Ralf Toumi, Peneliti di Imperial College London, sebagaimana diwartakan Reuters.
Johannes Quaas, Profesor Meteorologi Teoretis di Universitas Leipzig (Jerman), menyebut saat ini iklim bumi sudah 1,2 derajat celcius di atas pra-masa industrial. Iklim yang lebih hangat menjaga kelembapan sehingga akan lebih banyak menyebabkan hujan. Banjir bandang di Jerman disebabkan oleh curah hujan yang luar biasa, mencapai lebih dari 15 cm.
"Saat kita menghadapi curah hujan yang tinggi, atmosfer bekerja seperti spons. Saat spons itu diperas, air keluar semua," ujar Quaas dalam perbincangan dengan Reuters.
Setiap kenaikan suhu 1 derajat celcius, lanjut Quaas, atmosfer menyerap 7% lebih banyak air. Ini yang kemudian membuat hujan turun dengan deras dalam waktu lama.
Perubahan iklim membuat bencana alam seperti banjir lebih mudah terjadi. Belum lagi serangan gelombang panas (heatwave) yang juga mengancam nyawa di berbagai negara.
Halaman Selanjutnya --> Ratusan Miliar Dolar, Kerugian Ekonomi Akibat Perubahan Iklim
Selain nyawa, kerugian ekonomi akibat perubahan iklim juga luar biasa. Berdasarkan jurnal berjudul Climate Damages and Adaptation Potential Across Diverse Sectors of the United States karya Jeremy Martinich dan Allison Crimmins terbitan Nature Climate Change pada 8 April 2019, terdapat sejumlah skenario dampak perubahan iklim terhadap perekonomian.
Pertama, jika suhu global naik 2,8 derajat celcius pada 2100 maka kerugian ekonomi bisa mencapai US$ 296 miliar dolar Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya. Kedua, kala suhu naik sampai 4,5 derajat celcius, kerugian ekonominya adalah US$ 520 per tahun.
Jurnal itu menyebut negara yang paling merugi akibat perubahan iklim adalah India. Diikuti AS, China, dan Arab Saudi.
Dalam kurun 2015-2018, Morgan Stanley mencatat kerugian ekonomi akibat perubahan iklim di Amerika Utara saja mencapai US$ 415 miliar. Bencana yang mengakibatkan kerugian itu antara lain badai dan kebakaran hutan/lahan.
Pada 2017, kerugian akibat Badan Harvey di Negara Bagian Texas adalah US$ 125 miliar. Belum lagi Badai Sandy yang menimbulkan kerugian US$ 71 miliar pada 2012.
Halaman Selanjutnya --> Lima Sektor Ini Paling Rentan Terpukul Perubahan Iklim
Mengutip kajian Columbia Climate School, berikut adalah sejumlah sektor ekonomi yang rentan terpukul oleh perubahan iklim:
1. Pertanian
Hasil produksi pertanian sangat tergantung dari cuaca. Terlalu banyak hujan atau terlalu banyak panas tidak akan membuat hasil panen menjadi optimal. Sayangnya, dua hal ini adalah ciri dari perubahan iklim.
2. Insfrastruktur
Air dan beton tidak bisa bersatu. Musuh utama beton adalah air. Demikian pula aspal, air akan membuat aspal menjadi rapuh.
3. Kesehatan dan produktivitas
Jika suhu naik sampai 4,5 derajat celcius pada 2090, maka akan semakin orang meninggal dunia akibat panas. Kerugian yang ditimbulkan akibat kematian karena panas saja mencapai US$ 140 miliar. Belum lagi suhu yang semakin hangat akan membuat penyebaran penyakit kian mudah, misalnya demam berdarah karena meningkatnya populasi nyamuk Aedes aegypti.
4. Pariwisata
Tempat wisata musim dingin akan mengalami dampak karena berkurangnya salju dan es. Kualitas air pun memburuk jika suhu semakin hangat karena alga akan tumbuh lebih pesat.
5. Pasar keuangan
Perubahan iklim bisa mempengaruhi kinerja emiten. Kerusakan infrastruktur, gangguan rantai pasok, dan berkurangnya bahan baku akbat penggunaan berlebihan membuat biaya yang ditanggung emiten semakin tinggi. Biaya tinggi tentu akan menekan laba.
Oleh karena itu, tidak heran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati begitu memperhatikan isu perubahan iklim. Sebab, dampak yang ditimbulkan sangat mengerikan. Bahkan mungkin sama atau lebih dari pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
"Sama seperti pandemi, tidak ada satu negara yang bisa escape atau terbebas dari ancaman climate change. Bahkan sama seperti pandemi, negara yang paling tidak siap dari sisi sistem kesehatannya, dari sisi kemampuan fiskalnya, dari sisi disiplinnya dan dari kemampuan untuk mendapatkan vaksin dan melakukan vaksinasi mereka mungkin akan terkena paling berat dampaknya dari pandemi," papar Sri Mulyani.
TIM RISET CNBC INDONESIA