Ratusan Perusahaan di AS Bangkrut Gegara Corona, RI Gimana?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 July 2021 10:20
Suasana Mal sepi saat PPKM Darurat. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Suasana Mal sepi saat PPKM Darurat. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena kebangkrutan usaha akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) semakin terasa. Apalagi dengan penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, beban dunia usaha tambah berat.

PPKM Darurat mengamanatkan pekerja di sektor non-esensial dan non-kritikal 100% bekerja dari rumah (work from home). Pusat perbelanjaan wajib tutup, dan restoran/warung makan tidak boleh melayani pengunjung yang makan-minum di tempat.

Tidak hanya itu, kegiatan belajar mengajar juga harus dilakukan jarak jauh. Tempat wisata tutup sementara, sedangkan kegiatan seni-budaya-olahraga ditiadakan.

Belum lagi ada wacana pemerintah akan mengatur sistem kerja di pabrik menjadi sehari kerja-sehari libur. Artinya produksi belum bisa dipacu sesuai kapasitasnya.

Berbagai rambu-rambu ini bertujuan mulia yakni mengurangi interaksi dan kontak antar-manusia sehingga menurunkan risiko terpapar virus corona. Apalagi kasus positif corona di Indonesia bukannya terkendali tetapi semakin menjadi-jadi.

Per 13 Juli 2021, total pasien positif corona di Tanah Air berjumlah 2.615.529 orang. Bertambah 47.889 orang dibandingkan hari sebelumnya, rekor tertinggi penambahan kasus harian.

Bukan hanya itu, Indonesia juga memimpin tambahan kasus harian dunia. Situasi yang sangat mengkhawatirkan.

Halaman Selanjutnya --> Di AS, Ratusan Perusahaan Gulung Tikar

Meski bertujuan mulia, upaya pengendalian pandemi harus dibayar mahal. Ekonomi Indonesia menjadi 'pincang'.

Berdasarkan laporan Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha yang dibikin Badan Pusat Statisik (BPS) terhadap 34.559 responden, sebanyak 8,76% responden mengaku terpaksa berhenti beroperasi. Sementara 24,31% (porsi terbanyak) harus beroperasi dengan pengurangan kapasitas baik itu jam kerja karyawan, mesin, dan tenaga kerja.

Laporan ini menggambarkan begitu berat beban yang ditanggung dunia usaha. Oleh karena itu, fenomena kebangkrutan mulai muncul ke permukaan.

"Benar kondisinya sudah banyak yang jual aset. Macam-macam, mulai dari angkutan operasi bus, mobil travel, hingga pada aset rumah sudah banyak," ungkap Wayan Thomas, Anggota Bidang Umum dan Media Perusahaan Angkutan Pariwisata Bali (Pawiba) kepada CNBC Indonesia.

Pandemi virus corona adalah fenomena global, sehingga kebangkrutan dunia usaha tidak hanya terjadi di Indonesia. Mengutip laporan S&P Global Market Intelligence, ada 630 perusahaan di Amerika Serikat (AS) yang bangkut tahun lalu. Ini adalah yang tertinggi sejak 2010.

Beberapa di antaranya bukan perusahaan kaleng-kaleng. Ada nama-nama besar seperti JC Penney, Neiman Marcus Group, Ascena Retail Group, Tailored Brands, Fieldwood Energy, dan Chesapeake Energy.

"Angka kebangkrutan perusahaan mencapai titik terburuk dalam 10 tahun pada 2020 karena pandemi virus corona mempengaruhi kinerja industri dunia. Banyak perusahaan yang kesulitan bahkan untuk mencari titik break even," sebut laporan S&P.

Fenomena ini masih berlanjut pada 2021. Sepanjang Januari-April 2021, sudah 183 perusahaan di Negeri Paman Sam mengakui kebangkrutannya. Rinciannya: 43 perusahaan pada Januari, 33 pada Februari, 61 pada Maret, dan 46 pada April.

"Akan tetapi, 183 perusahaan yang mendeklarasikan kebangkrutan pada Januari-April 2021 lebih sedikit dibandingkan periode yang sama pada 2020 yaitu 207 perusahaan. Jumlah ini juga lebih sedikit dibandingkan periode yang sama dalam 1o tahun terakhir kecuali 2014, 2015, 2016, 2017, dan 2018.

"Risiko gelombang lanjutan serangan virus corona yang mungkin menyebabkan pengetatan aktivitas dan mobilitas masyarakat bisa kembali mengancam dunia usaha. Ini berisiko membatasi keuntungan perusahaan dalam jangka pendek," lanjut laporan S&P.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular