
Ratusan Perusahaan di AS Bangkrut Gegara Corona, RI Gimana?

Meski bertujuan mulia, upaya pengendalian pandemi harus dibayar mahal. Ekonomi Indonesia menjadi 'pincang'.
Berdasarkan laporan Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha yang dibikin Badan Pusat Statisik (BPS) terhadap 34.559 responden, sebanyak 8,76% responden mengaku terpaksa berhenti beroperasi. Sementara 24,31% (porsi terbanyak) harus beroperasi dengan pengurangan kapasitas baik itu jam kerja karyawan, mesin, dan tenaga kerja.
Laporan ini menggambarkan begitu berat beban yang ditanggung dunia usaha. Oleh karena itu, fenomena kebangkrutan mulai muncul ke permukaan.
"Benar kondisinya sudah banyak yang jual aset. Macam-macam, mulai dari angkutan operasi bus, mobil travel, hingga pada aset rumah sudah banyak," ungkap Wayan Thomas, Anggota Bidang Umum dan Media Perusahaan Angkutan Pariwisata Bali (Pawiba) kepada CNBC Indonesia.
Pandemi virus corona adalah fenomena global, sehingga kebangkrutan dunia usaha tidak hanya terjadi di Indonesia. Mengutip laporan S&P Global Market Intelligence, ada 630 perusahaan di Amerika Serikat (AS) yang bangkut tahun lalu. Ini adalah yang tertinggi sejak 2010.
Beberapa di antaranya bukan perusahaan kaleng-kaleng. Ada nama-nama besar seperti JC Penney, Neiman Marcus Group, Ascena Retail Group, Tailored Brands, Fieldwood Energy, dan Chesapeake Energy.
"Angka kebangkrutan perusahaan mencapai titik terburuk dalam 10 tahun pada 2020 karena pandemi virus corona mempengaruhi kinerja industri dunia. Banyak perusahaan yang kesulitan bahkan untuk mencari titik break even," sebut laporan S&P.
Fenomena ini masih berlanjut pada 2021. Sepanjang Januari-April 2021, sudah 183 perusahaan di Negeri Paman Sam mengakui kebangkrutannya. Rinciannya: 43 perusahaan pada Januari, 33 pada Februari, 61 pada Maret, dan 46 pada April.
"Akan tetapi, 183 perusahaan yang mendeklarasikan kebangkrutan pada Januari-April 2021 lebih sedikit dibandingkan periode yang sama pada 2020 yaitu 207 perusahaan. Jumlah ini juga lebih sedikit dibandingkan periode yang sama dalam 1o tahun terakhir kecuali 2014, 2015, 2016, 2017, dan 2018.
"Risiko gelombang lanjutan serangan virus corona yang mungkin menyebabkan pengetatan aktivitas dan mobilitas masyarakat bisa kembali mengancam dunia usaha. Ini berisiko membatasi keuntungan perusahaan dalam jangka pendek," lanjut laporan S&P.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
