Pajak Karbon Banyak di Negara Maju, RI Jangan Tergesa-gesa

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
05 July 2021 18:30
Pekerja melakukan bongkar muat batu bara di Terminal Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (23/2/2021). Pemerintah telah mengeluarkan peraturan turunan dari Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun salah satunya Peraturan Pemerintah yang diterbitkan yaitu Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral.  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bongkar Muat Batu Bara di Terminal Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon pada 2022 dengan tarif minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai RI perlu berhati-hati dalam menerapkan pajak karbon.

Menurutnya, Indonesia perlu belajar ke negara lain yang sudah terlebih dahulu menerapkan pajak karbon. Misalnya saja Argentina, sejak 2017 sudah menerapkan pajak karbon dan diimplementasikan pada Maret 2018. Namun sampai saat ini bauran energi fosil di Argentina masih signifikan besarnya, yakni 87%.

"Kalau lihat hari ini, bauran energi Argentina masih 87% fosil ini tergantung negara dan kondisi finansial masyarakat," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (05/07/2021).

Lebih lanjut dia mengatakan, pajak karbon sudah diterapkan di beberapa negara Eropa, dan ada juga negara Asia yang berhasil menerapkan seperti Jepang. Meski negara lain sudah sukses menerapkan pajak karbon, namun indikator ekonominya jauh berbeda dengan RI.

"Tapi lihat indikator ekonomi beda, Gross Domestic Product (GDP) kita hari ini baru US$ 4.000 per kapita, Argentina US$ 14.000, Jepang US$ 44.0000 kita bandingkan ada di mana, jangan tergesa-gesa, harus kaji mendalam," ungkapnya.

Menurutnya, jika pajak karbon ini diterapkan, maka hampir semua energi fosil di Tanah Air akan terdampak. Saat ini bauran energi fosil di Indonesia masih besar, antara 85%-90% dari total bauran. Konsumen energi terbesar ada di tiga sektor, diantaranya industri, transportasi, dan kelistrikan.

"Semuanya saat ini berkontribusi besar dalam pembentukan produksi domestik nasional. Kalau ada shock di sana akan ada ancaman terhadap kontraksi pertumbuhan ekonomi karena cost of economic akan lebih besar," jelasnya.

Jika kontraksi ekonomi ini terjadi, maka akan berdampak pada penerimaan pajak yang berkurang.

"PDB kali tax ratio, sepanjang tax ratio di angka yang sama otomatis justru akan berkurang, jangan sampai pemerintah kejar Rp 26-53 triliun tapi ada potensi kehilangan yang jauh lebih besar," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan kepada Komisi XI DPR RI, Senin (29/06/2021), terkait rencana pengenaan pajak karbon mulai tahun depan ini. Rencananya, ini akan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam aturan ini disebutkan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Adapun pajak karbon yang berlaku yakni barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terapkan Pajak Karbon, Harga Energi Fosil RI Berpotensi Naik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular