
Ada Pajak Karbon, Apa Iya Energi Terbarukan Bakal Berkembang?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon mulai tahun depan dengan tarif minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Kebijakan ini sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi emisi karbon.
Dengan rencana penerapan pajak ke energi fosil ini, apakah bisa signifikan mendorong pengembangan proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) di Tanah Air?
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pajak karbon akan menjadi biaya tambahan bagi industri fosil yang menghasilkan karbon.
Nantinya, listrik dari batu bara atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) maupun pembangkit berbasis energi fosil lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) akan ikut terkena pajak karbon ini.
"Kalau sudah dijumlahkan (dengan pajak karbon ini), apakah harganya sudah menyamai EBT? Apa masih di bawahnya? Kalau masih di bawahnya, EBT gak akan berkembang," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin(05/07/2021).
Bagaimanapun, imbuhnya, bicara soal harga, konsumen pasti akan mencari harga yang lebih murah.
"Tapi kalau dengan Rp 75 sudah kompetitif, ada harapan EBT bisa berkembang kompetitif dengan fosil yang existing," ujarnya.
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma sempat menuturkan bahwa harga pajak karbon yang direncanakan oleh pemerintah sebesar Rp 75 per kg tersebut masih sangat murah. Jika per kg hanya Rp 75 artinya per ton hanya Rp 75 ribu dan jika dikonversi ke dolar hanya US$ 5 per ton.
"Dengan harga yang Rp 75 per kg, berarti sekitar Rp 75 ribu per ton. Nilai ini masih sangat rendah karena hanya sekitar US$ 5 per ton," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (30/06/2021).
Meski demikian, pajak karbon menurutnya bisa menjadi daya tarik dalam pengembangan energi terbarukan. Melalui penerapan pajak karbon, maka diperkirakan akan berdampak pada keseimbangan pengembangan energi fosil dan energi terbarukan.
Hal senada sempat disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Menurutnya, usulan besaran pajak karbon minimal Rp 75 per kg tersebut masih jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan Lembaga Pendanaan Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF).
Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35 - US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 - Rp 1,4 juta (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) per ton.
"Dari sisi harga, sejumlah rekomendasi menyatakan untuk carbon pricing yang ideal berkisar antara US$ 35 sampai dengan US$ 100/ton, sehingga benar-benar efektif dampaknya," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/06/2021).
Menambah Beban, Sulit Diwujudkan
Menurut Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, rencana pemerintah memungut pajak karbon sulit diwujudkan sejalan dengan masih belum meredanya pandemi Covid-19 yang berdampak pada lesunya dunia usaha dan menurunnya daya beli masyarakat.
"Efek ke dunia usaha pasti besar, karena pasti menambah beban produksi, yang ujungnya juga akan ditanggung masyarakat selaku konsumen. Sementara saat ini pandemi Covid-19, daya beli masyarakat menurun. Demikian juga dengan dunia usaha, semua sektor turun dan banyak perusahaan kinerjanya turun, meskipun itu perusahaan besar," kata dia.
Dia menambahkan, kebijakan ini akan memberikan efek domino kepada sektor usaha lainnya, selain tentunya memperburuk iklim investasi, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pengenaan emisi karbon sebagai barang kena pajak.
Menurutnya, perlu ada koordinasi antar kementerian untuk menyusun skema yang tidak merugikan pelaku usaha dan daya beli masyarakat yang pada saat ini masih cukup tertekan.
Selain itu, pemerintah juga harus berkomunikasi dengan pelaku usaha terkait dengan kesiapan dan konsekuensi yang bakal dihadapi terkait dengan kebijakan ini.
"Pajak karbon tujuannya untuk meredam emisi. Tapi harus ada transisi untuk meminimalisasi beban kepada masyarakat. Harus ada persiapan dan kombinasi, dan ini hanya bisa dilakukan jika ada komunikasi dengan pelaku usaha," katanya.
Sebelumnya, rencana pajak karbon ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Komisi XI DPR RI. Ini merupakan bagian dari Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dari paparan Sri Mulyani yang dikutip CNBC Indonesia, Senin (28/6/2021), ada beberapa alasan pengenaan tarif karbon ini, salah satunya adalah isu lingkungan.
Sebab, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26% pada tahun ini dan 29% pada tahun 2030. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan ini, maka regulasi untuk pungutan atas emisi karbon diperlukan.
"Salah atau instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca adalah diperlukan ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon," tulis paparan Sri Mulyani.
Selain itu, juga dijelaskan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang mengakibatkan kerugian cukup besar setiap tahunnya. Bahkan, untuk mengendalikan perubahan iklim, Indonesia selalu kekurangan biaya.
Hal ini tercermin dari gap pembiayaan yang dibutuhkan dengan besaran anggaran yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Pada tahun 2016 jumlah belanja yang disediakan pemerintah dalam APBN sebesar 19,7% dan kekurangan pembiayaan 80,3%.
Lalu pada tahun 2019 pendanaan yang tersedia 31,4% saja dan kekurangan pendanaan sekitar 68,6% dari total anggaran penanganan perubahan iklim yang dibutuhkan.
Oleh karenanya, penerimaan dari pajak karbon sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim ini.
"Pajak karbon untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca," tulis Kemenkeu.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pajak Karbon RI Rp 75/kg Dinilai Masih Sangat Murah