Alternative Minimum Tax

Dear Bu Sri Mulyani, Perusahaan Rugi Bisa Dipajaki Asalkan..

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
05 July 2021 07:40
Menteri Keuangan Sri Mulyan dalam sambutan acara
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyan dalam sambutan acara

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara dunia, termasuk Indonesia, sepakat mengenakan tarif pajak minimum (global minimum tax) sebesar 15% bagi perusahaan digital seperti Google dan Netflix. Masih perlukah wacana pajak bagi perusahaan rugi di Indonesia diimplementasikan?

Adalah Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang mengumumkan kesepakatan tersebut pada Jumat (2/6/2021) di Paris, Prancis. Bagi Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS), kesepakatan itu dinilai sebagai kemenangan Presiden Joe Biden yang telah lama berusaha menyetop praktik penghindaran pajak perusahaan digital yang beroperasi lintas negara.

Ini merupakan terobosan pajak terbesar di tingkat global-setidaknya dalam 1 abad terakhir. Jika 130 negara yang mewakili 90% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia itu telah merevisi sistem pajak mereka sesuai cetak biru OECD tersebut, maka mereka berpeluang mendapat pemasukan pajak baru, dengan tanpa harus berebut banting tarif dengan negara lain.

Secara bersamaan, di Indonesia muncul rencana pengenaan pajak minimum (alternative minimum tax/AMT) bagi perusahaan yang mengaku rugi tapi masih ekspansif. Alasannya demi meningkatkan penerimaan negara dan menekan penghindaran pajak lewat transfer pricing.

Berdasarkan paparan Rapat Kerja (Raker) antara Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dan Badan Anggaran (Banggar) DPR, pada Senin (31/5) lalu, AMT disebutkan akan dikenakan bagi wajib pajak (WP) Badan, alias perusahaan.

Skema pungutan pajak korporasi itu merupakan respons pemerintah atas fenomena penghindaran pajak yang marak dilakukan oleh perusahaan. "Kita akan melakukan alternative minimum tax approach supaya compliance menjadi lebih bisa diamankan," kata Menkeu beberapa waktu lalu.

Sebagaimana ketentuan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, perusahaan yang rugi memang tidak dikenakan pajak penghasilan. "WP Badan yang melaporkan rugi secara terus-menerus meningkat 8% pada 2012 dan naik menjadi 11% pada 2019," jelas Sri Mulyani saat melakukan rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (28/6/2021).

UN Trade mengungkapkan bahwa 60-80% dari situ merupakan transaksi afiliasi yang beroperasi di perusahaan multinasional. Untuk kasus di Indonesia, sebanyak 37%-42% dari PDB dilaporkan sebagai transaksi afiliasi di dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) WP Badan.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan praktik demikian memicu kerugian negara di seluruh dunia sebesar US$ 100 miliar hingga US$ 240 miliar per tahun. "Setara dengan 4%-10% penerimaan PPh Badan global, menurut OECD," ujar Sri Mulyani.

Halaman Selanjutnya >> Insentif Wajib Ada

Bagi pelaku usaha, pengenaan AMT bukanlah solusi yang ideal untuk menggenjot penerimaan pajak negara, karena memiliki efek kontraproduktif terhadap investasi di Indonesia dalam jangka panjang. Pasalnya, perusahaan tak selalu mencetak keuntungan, terutama di tahun-tahun awal investasi.

Sebut saja perusahaan petrokimia, yang memerlukan waktu setidaknya 5 tahun untuk masa konstruksi sehingga otomatis belum menghasilkan keuntungan. Umumnya, perusahaan dengan nilai investasi besar memang baru membukukan laba bersih pada tahun kelima atau keenam, apalagi jika perusahaan itu bergerak di industri hilir yang padat modal dan teknologi.

Dalam Naskah Akademik RUU KUP yang beredar, pemerintah sebenarnya telah mafhum dengan efek samping AMT yang kontraproduktif tersebut. "Meskipun AMT mendukung penerimaan negara karena adanya jaminan pembayaran pajak dari setiap WP, ide ini juga bisa menjadi kontraproduktif," tulis Kemenkeu.

Mengacu pada Amerika Serikat (AS), skema AMT mendorong perusahaan-perusahaan di sana merekalkulasi ulang manfaat dan biaya jika berinvestasi di AS dibandingkan dengan negara lain, dan memicu relokasi. Akibatnya, hal tersebut justru tidak sejalan dengan tujuan pemerintah untuk memperkuat basis perekonomian.

Oleh karenanya, pemerintah harus menyiapkan skema yang tepat agar kebijakan AMT tidak berujung pada kaburnya investasi asing ke negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, karena mereka harus membayar pajak meski baru memulai usaha atau dibelit kerugian di Indonesia.

Sejauh ini, pemerintah menyiapkan skema insentif bagi perusahaan yang baru memulai usaha, berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 150/PMK.010/2018, di mana penerima insentif diperluas, dari 153 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI) menjadi 163 KLBI.

Keputusan mendapat insentif atau tidak juga dipercepat, dari semula 45-125 hari kerja menjadi paling lama hanya 5 hari kerja. Aturan tentang keputusan terkait insentif tersebut harus terbit paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diajukan. Selain itu, nilai minimum investasi juga diturunkan menjadi Rp500 miliar dan berlaku umum.

Para penerima insentif pun bakal mendapat tax holiday sebesar 50% dari tarif PPh selama 2 tahun sejak selesainya masa berlaku insentif tersebut. Dengan PMK ini, maka investor bakal bisa memulai usaha di Indonesia dengan pembebasan Pph sesuai ketentuan, sekalipun AMT berlaku.

Namun, jangan berharap AMT saja cukup untuk mengatasi praktik transfer pricing. Masih ada pekerjaan besar yang harus dibenahi pemerintah Indonesia, baik melalui inisiatif multilateral melalui OECD, maupun penguatan kapasitas Direktorat Jenderal Pajak sendiri dalam audit pajak.

Wacana pengenaan AMT sebenarnya sudah dikemukakan menteri keuangan sebelumnya yakni Bambang Brodjonegoro. "Kebanyakan dari mereka beroperasi normal tanpa pertanda mau bangkrut. Itu kan penghinaan terhadap otoritas pajak," tuturnya kepada Reuters (4/3/2016).

Saat itu, isu yang mengemuka adalah praktik pemindahan ongkos (transfer pricing) perusahaan raksasa multinasional yang beroperasi di Indonesia. Mereka sengaja menaikkan harga pembelian barang modal atau bahan baku yang dipasok perusahaan induknya, yang berlokasi di luar negeri.

Akibatnya, beban operasional entitas di Indonesia itu naik sedemikian rupa sehingga mereka memikul rugi bersih (di atas kertas). Sementara, perusahaan induknya di luar sana mencetak keuntungan besar karena menjual bahan baku di atas harga pasar ke anak usaha.

Beberapa kasus-dan dugaan-praktik penghindaran pajak berbasis BEPS sempat mengemuka dan menjadi sorotan nasional, yang melibatkan perusahaan berbasis di Indonesia dengan wilayah operasi lintas negara. Tidak semuanya berakhir dengan putusan sanksi/denda karena memang proses pembuktiannya tidak mudah.

Yang jelas, praktik penghindaran pajak melalui transfer pricing ini adalah problem struktural yang dihadapi semua negara berkembang. Puncaknya, OECD pada 2013 menyusun proyek, bertajuk Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS).

Proyek tersebut kini memasuki tahap implementasi, di mana 139 negara terlibat di dalamnya untuk melaksanakan 15 rencana tindak guna memerangi penghindaran pajak oleh perusahaan transnasional. Empat dari 15 rencana tersebut terkait dengan upaya menekan transfer pricing.

Terbaru, OECD menyusun dokumen konvensi pajak, panduan transfer pricing yang terus diupdate, meliputi panduan untuk memahami praktik tersebut dalam transaksi keuangan, dan praktik terbaru yang melibatkan aset yang sulit diukur (hard-to-value intangible).

Untuk membuat panduan tersebut efektif menjerat pelaku penghindaran pajak dengan modus BEPS, semuanya kembali pada kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan audit, yang berujung pada kuatnya penegakan hukum di pengadilan pajak.

Sesuai ketentuan OECD, negara berhak menentukan kewajaran harga penjualan terduga transfer pricing, dengan membandingkannya pada transaksi perusahaan sejenis di luar negeri. China menjadi salah satu negara yang unggul dalam audit mengendus pelaku transfer pricing. Dan harap dicatat, China tak memberlakukan pajak minimum bagi perusahaan rugi.

Artinya, AMT tak ada urusannya dengan efektivitas membasmi penghindaran pajak. Ia tak bisa dijadikan solusi utama untuk membasmi praktik BEPS. Tanpa penegakan hukum yang kuat, AMT menjadi semacam "kompensasi" atas kekurangmampuan negara mengatasi penghindaran pajak.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular