Lockdown Berat, Tak Lockdown Gawat! Bagaimana, Pak Jokowi...?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 June 2021 12:11
Antrean Pasien Covid di RSUD Cengkareng (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Antrean Pasien Covid di RSUD Cengkareng (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Indonesia masih jauh dari kata terkendali. Demi mempersempit ruang gerak penyebaran virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu, apakah Indonesia sudah perlu menerapkan kebijakan ekstrem seperti karantina wilayah (lockdown)?

Per 22 Juni 2021, jumlah pasien positif corona di Indonesia adalah 2.018.113 orang. Bertambah 13.886 orang (0,68%) dibandingkan sehari sebelumnya. Sudah enam hari beruntun pasien baru bertambah lebih dari 10.000.

Selama 14 hari terakhir, rata-rata penambahan pasien baru adalah 10.628 orang per hari. Melonjak tajam dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yakni 5.938 orang setiap harinya.

Hal yang patut menjadi perhatian adalah angka kasus aktif yang terus meningkat. Kasus aktif menggambarkan pasien yang masih dalam perawatan, baik di fasilitas kesehatan maupun mandiri. Data ini menggambarkan seberapa berat beban yang ditanggung sistem pelayanan kesehatan di suatu negara.

Pada 22 Juni 2021, angka kasus aktif berada di 152.686 orang, bertambah 4.958 dari hari sebelumnya. Angka kasus aktif berada di posisi tertinggi sejak 1 Maret 2021.

coronaSumber: Worldometer

Cerminan tingginya kasus aktif adalah fasilitas kesehatan yang mulai pontang-panting. RSUD Cengkareng sampai harus merawat pasien di lorong, sementara Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Fatmawati hanya menerima pasien Covid-19.

"IGD RSUP Fatmawati saat ini hanya menerima pasien dengan terkonfirmasi Covid-19 dengan gejala sedang, berat, dan kritis. Dilatarbelakangi karena saat ini ada kenaikan jumlah pasien yang terkonfirmasi Covid-19 dan pasien tersebut melebihi jumlah kapasitas ruang perawatan Covid-19, khususnya di RSUP Fatmawati. Dengan melebihi jumlah kapasitas tersebut dan untuk menghindari transmisi di ruang-ruang rawat, maka diambil langkah-langkah," ungkap Kepala Bagian Hukum, Organisasi, dan Humas RSUP Fatmawati Iwan Rusmana.

Halaman Selanjutnya --> Warga Ndableg, Saatnya Lockdown?

Untuk menekan risiko penyebaran virus corona, pemerintah mengedepankan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro. Namun sejumlah pihak menilai kebijakan ini kurang efektif karena kenyataannya kasus malah semakin bertambah.tttt

"Lebih pas PPKM seperti di awal Januari dulu, atau bahkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang seperti tahun lalu. Lebih tepat adalah PPKM atau PSBB yang skala luas, sehingga implementasi itu membuat dampak transmisi di masyarakat menjadi menurun," kata dr Agus Susanto, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).

"Kita harus cemas melihat kenyataan varian virus sudah berkumpul di Indonesia. Varian delta dan alpha sudah mendominasi. Harus ada keberanian melakukan karantina di wilayah yang sedang meningkat kasusnya," tegas Pandu Riono, Epidemiolog Universitas Indonesia.

Lockdown diharapkan menjadi solusi untuk benar-benar 'mengunci' masyarakat agar tetap #dirumahaja. Dengan demikian risiko penyebaran virus jadi berkurang.

Melihat data indeks mobilitas masyarakat yang dirilis Apple, pergerakan warga 62 dengan mengemudi memang cukup intens. Rata-rata indeks mobilitas dengan mengemudi dalam 14 hari terakhir adalah 113,04.

Artinya, warga keluar rumah dengan intensitas yang melebihi masa sebelum pandemi. Kalau begini terus, wajar saja virus semakin cepat menyebar.

Oleh karena itu, mungkin perlu langkah yang lebih tegas untuk membatasi mobilitas publik. Caranya ya benar-benar 'digembok', lockdown. Warga betul-betul dilarang keluar rumah kecuali untuk urusan yang maha mendesak.

Halaman Selanjutnya --> Lockdown, Menyelesaikan Masalah dengan Masalah

Lockdown memang bertujuan mulia, menyelamatkan nyawa rakyat Indonesia dari serangan virus mematikan. Namun kebijakan ini bukan tanpa komplikasi, bahkan harus dibayar dengan harga yang sangat mahal.

Berkaca kepada pengalaman PSBB kuartal II-2021, ekonomi Ibu Pertiwi 'mati suri'. Pengangguran melonjak, kemiskinan semakin marak, gara-gara 'roda' ekonomi yang tidak bergerak.

Pada Agustus 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan tingkat pengangguran mencapai 7,07%, Ini adalah yang tertinggi sejak Agustus 2010. Kerja keras menurunkan angka pengangguran dalam 10 tahun hancur begitu saja.

Kemudian per September 2020, tingkat kemiskinan naik ke 10,19%, tertinggi sejak Maret 2017. Tingkat kemiskinan yang susah payah diturunkan ke satu digit sudah kembali menyentuh dua digit.

Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan membuat ekonomi Indonesia mengkerut. Pada 2020, Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air tumbuh -2,07%, catatan terburuk sejak 1998.

Belum lagi pemerintah tentu harus mengeluarkan lebih banyak stimulus bagi rakyat yang tidak bisa ke mana-mana. Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), lockdown membutuhkan biaya setidaknya Rp 550 miliar per hari, hanya di Jakarta. Kalau diperluas hingga ke Jabodetabek, maka biayanya dikalikan tiga.

"Jadi dalam memutuskan setiap negara itu beda-beda. Karakternya beda, tingkat kesejahteraannya beda, tingkat pendidikan beda, tingkat kedisiplinan berbeda, geografis berbeda, kemampuan fiskal berbeda. Nggak bisa kita disuruh meniru negara lain," kata Jokowi kala itu.

Halaman Selanjutnya --> Utang Pemerintah Bisa Terus Bertambah

Lockdown, yang mematikan aktivitas ekonomi, otomatis menghambat setoran pajak. Saat penerimaan pajak seret, maka mau tidak mau utang pemerintah bakal terus bertambah untuk membiayai peningkatan belanja negara.

Per April 2021, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 41,18%. Naik dibandingkan posisi akhir kuartal I-2021 yang sebesar 39,07%.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan kekhawatiran soal ini. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui PDB dan penerimaan negara, yang dikhawatirkan pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.

BPK juga mengungkapkan bahwa utang pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perhitungan International Debt Relief (IDR), rasio debt service terhadap penerimaan yang direkomendasikan adalah 25-35%, sementara Indonesia berada di 46,77%. Kemudian rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan yang ideal ada di 4,6-6,8%, Indonesia sudah di 19,06%.

Selepas krisis moneter 1998, Indonesia terus berupaya memperbaiki kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan berhasil. Ini dicerminkan oleh pengakuan berbagai lembaga pemeringkat (rating agency) yang memberikan status layak investasi alias investment grade.

Namun gara-gara pandemi virus corona, upaya menyehatkan APBN selama lebih dari dekade itu seperti menguap begitu saja. Utang pemerintah terus bertambah sementara penerimaan negara turun drastis.

Memang susah lockdown ini, bak buah simalakama. Dilakukan ibu mati, tidak dilakukan bapak yang mati...

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Potret Baru Shanghai Lockdown: Warga Panic Buying-Rak Kosong

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular