Investasi EBT di Asia Pasifik Bisa Tembus US$ 1,3 T di 2030

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
22 June 2021 15:30
Sidrap PLTB
Foto: Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Investasi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan di Asia Pasifik seperti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) atau angin dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dapat berlipat ganda menjadi US$ 1,3 triliun hingga 2030 dibandingkan dengan dekade sebelumnya (2011-2020).

Hal tersebut berdasarkan laporan lembaga analisis energi Wood Mackenzie, yang dipublikasikan Selasa (22/06/2021).

Wood Mackenzie melaporkan, kondisi sebaliknya terjadi pada investasi di sektor energi berbahan bakar fosil yang diperkirakan turun sekitar 25% menjadi US$ 54 triliun.

Di periode transisi energi saat ini, subsidi energi di seluruh Asia akan diturunkan, sementara target kebijakan yang lebih kuat dan penurunan biaya akan terus berlanjut.

Di sebagian besar pasar Asia, pembangkit listrik berbasis energi terbarukan yang tidak disubsidi tidak akan mampu bersaing dengan pembangkit listrik tenaga batu bara hingga tahun 2025 atau setelahnya.

Berbicara di 'Wood Mackenzie Asia Pacific Power and Renewables Conference', Direktur Riset Alex Whitworth mengatakan, "Investasi pembangkit listrik Asia Pasifik memimpin dunia dan diperkirakan mencapai US$ 2,4 triliun dalam dekade ini, dengan energi terbarukan menyumbang lebih dari setengahnya atau US$ 1,3 triliun."

"Kami memperkirakan batu bara menyumbang 55% dari investasi bahan bakar fosil hingga 2030, tetapi menyusut menjadi 30% pada 2030-an karena gas mendominasi," lanjutnya.

China Mendominasi

Kontributor utama untuk investasi pembangkit tenaga angin dan surya di Asia Pasifik antara lain China Daratan, Jepang, India, Korea Selatan, dan wilayah Taiwan. Antara tahun 2021 dan 2030, kapasitas pembangkit listrik tenaga angin dan surya akan bertambah setiap tahunnya rata-rata sekitar 140 Giga Watt (GW), terhitung dua pertiga dari total penambahan kapasitas daya rata-rata di wilayah tersebut pada 2030.

Konsultan Utama Xiaoyang Li mengatakan, "Target kapasitas angin dan surya China sebesar 1.200 GW pada 2030 akan membutuhkan lebih dari 534 GW energi terbarukan untuk ditambahkan selama dekade berikutnya. Ini akan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin tahunan menjadi lebih dari 40 GW dari 2021 hingga 2030."

Analis Utama Robert Liew mengatakan bahwa tenaga angin lepas pantai akan memainkan peran kunci dalam mendukung target net-zero Jepang pada 2050.

"Untuk memenuhi target ini akan membutuhkan pembangunan kapasitas angin lepas pantai baru yang setara dengan satu reaktor nuklir baru setiap tahun hingga pertengahan abad ini," ujarnya.

Analis Riset Ken Lee menambahkan bahwa Korea Selatan akan segera menjadi salah satu pemimpin angin lepas pantai di Asia dengan hampir 4,4 GW dalam pengembangan dalam waktu dekat.

PLTS Semakin 'Panas"

Asia Tenggara secara kolektif akan membutuhkan investasi sekitar US$ 14 miliar per tahun untuk pembangkit listrik tenaga angin dan surya hingga 2040, membentuk hampir setengah dari total investasi listrik.

Analis Senior Rishab Shrestha mengatakan bahwa Asia Tenggara adalah salah satu wilayah pasar surya 'terpanas' di dunia, dengan kapasitas terpasang lebih dari dua kali lipat setiap tahun sejak 2018.

"Akan ada perlambatan sesaat dengan subsidi ditarik kembali, tetapi wilayah tersebut akan bertambah. 100 GW solar dalam sepuluh tahun ke depan," ujarnya.

Asia Pasifik adalah pusat inovasi dan manufaktur teknologi surya. Sebagai rumah bagi produsen modul surya dan manufaktur inverter PV terbesar di dunia, kawasan ini merupakan bidang uji dari banyak teknologi baru yang memiliki potensi besar untuk menurunkan biaya Capex dan O&M solar.

"Daya saing ekonomi solar bertumpu pada pengaruh industri yang berkelanjutan pada teknologi baru untuk mengurangi biaya listrik yang merata, meningkatkan keandalan proyek, dan meningkatkan produksi listrik. Kami akan melihat banyak inovasi teknologi membuahkan hasil di kawasan ini di tahun-tahun mendatang," kata Analis Utama Xiaojing Sun.

Investasi EBT di Australia Menurun

Sebaliknya, investasi angin dan surya Australia akan turun 60% dalam lima tahun ke depan, tetapi meningkat lagi menjadi rata-rata US$ 7 miliar per tahun pada 2030-an.

"Australia adalah pemimpin dalam transisi energi di Asia Pasifik. Negara ini memiliki variabel energi terbarukan tertinggi dalam pembangkitan saat ini dan akan mempercepat pangsa tersebut dari 20% pada 2020 menjadi 78% pada 2050. Negara ini menutup pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah tua dan menghadapi tantangan keandalan dan biaya setidaknya sepuluh tahun lebih awal daripada negara-negara Asia lainnya," tutur Analis Senior Le Xu.

Seiring dengan investasi energi terbarukan yang kuat pada dekade ini, Wood Mackenzie memperkirakan emisi karbon dari sektor listrik Asia Pasifik akan mencapai puncaknya pada 7,3 miliar ton (Bt) pada 2025, yang setara dengan 1,8 ton per orang, kurang dari setengah tingkat negara-negara maju.

Whitworth mengatakan, "Meskipun kami memperkirakan penurunan 47% dalam emisi karbon dari sektor listrik dari puncaknya sebesar 7,3 Bt pada 2025, tapi adanya pembangkit listrik tenaga batu bara akan mencegah Asia Pasifik mencapai pembangkit listrik bebas karbon pada 2050."

"Mengadaptasi teknologi pengurangan emisi baru seperti penangkapan dan penyimpanan karbon dan bahan bakar hijau (hidrogen, amonia, biomassa, dan lain-lain) menjadi pembangkit batu bara dan gas akan menjadi kunci dalam mengurangi emisi sektor listrik," tuturnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Energi Terbarukan Lebih Murah dari PLTU Batu Bara, Beneran?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular