Saatnya Hulu Migas RI Bangkit, Target 1 Juta Barel Menanti

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
16 June 2021 19:50
Pertamina Hulu Rokan manfaatkan suplai listrik dari PLN untuk Blok Rokan. Doc Pertamina
Foto: Pertamina Hulu Rokan manfaatkan suplai listrik dari PLN untuk Blok Rokan. Doc Pertamina

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menargetkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan produksi gas bumi 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Ekonomi yang terus bertumbuh membutuhkan pasokan energi yang semakin besar, salah satunya minyak.

Secara persentase, kebutuhan energi fosil seperti minyak diperkirakan akan semakin menurun seiring dengan upaya pemerintah mengejar bauran Energi Baru Terbarukan (EBT). Meski demikian, di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kebutuhan energi fosil dari sisi volume masih akan terus meningkat.

"Sebagai negara yang menandatangani Perjanjian Paris, meski persentase minyak dan gas turun, tapi secara volume naik," papar Dwi dalam sebuah diskusi belum lama ini.

Peningkatan produksi minyak ini menurutnya juga akan berdampak baik pada neraca perdagangan, khususnya di sektor migas. Dwi menyebut, Indonesia masih punya potensi untuk mengejar target ini, terutama karena Indonesia memiliki 128 cekungan hidrokarbon.

Akan tetapi, yang telah diproduksi baru 20 cekungan. Adapun 27 cekungan lainnya sudah ada temuan tapi belum diproduksi, lalu 13 cekungan belum ada temuan, dan 68 cekungan belum dibor eksplorasi sama sekali.

Upaya untuk mengejar target produksi tersebut di antaranya dengan meningkatkan nilai aset yang ada. Tahun ini pemboran sumur akan digenjot menjadi 616 sumur setelah pada tahun 2020 pemboran turun akibat pandemi Covid-19.

Kemudian, untuk kegiatan pengeboran sumur workover ditargetkan sebanyak 615 sumur dan well service juga meningkat menjadi 26.431 sumur.

Upaya lainnya untuk meningkatkan produksi minyak menurutnya adalah dengan transformasi R to P atau reserve to production (cadangan untuk produksi), mempercepat chemical Enhanced Oil Recovery (EOR), dan melakukan eksplorasi agar ditemukan cadangan yang besar.

Tak hanya itu, salah satu blok migas yang ditargetkan tetap terjaga produksinya yaitu Blok Rokan, Riau. Pengelolaan Blok Rokan akan beralih kepada PT Pertamina (Persero) melalui unit usaha PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dari Chevron Pacific Indonesia pada 9 Agustus 2021. Untuk alih kelola Blok Rokan pada Agustus mendatang, SKK Migas juga telah membentuk tim alih kelola dan dilakukan monitoring secara berkala. Hal ini ditujukan agar alih kelola tidak mengganggu produksi minyak di blok ini. Blok Rokan merupakan penghasil minyak terbesar kedua setelah Blok Cepu yang dikelola Exxon Mobil Cepu Ltd. Saat ini produksi minyak di Blok Rokan rata-rata mencapai 165 ribu barel per hari (bph).

Target ini tentunya menjadi tantangan bagi industri hulu migas. Pasalnya, hingga kuartal I 2021, produksi minyak rata-rata baru sebesar 679,5 ribu bph dan produksi gas 6.748 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Demi mengejar target yang tinggi di tahun 2030 tersebut, maka dibutuhkan investasi yang sangat besar. Pihaknya memperkirakan investasi yang dibutuhkan mencapai US$ 187 miliar atau sekitar Rp 2.711 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) selama 2021-2030.

"Industri migas sedang melakukan pekerjaan besar, butuh tenaga, pikiran, dana, waktu, serta perlu integrasi yang baik. Untuk capai target produksi minyak 1 juta bph dan gas 12 BSCFD di 2030 tersebut, kami perkirakan industri hulu migas bisa tarik investasi dengan total US$ 187 miliar dari 2021 sampai 2030 mendatang," jelas Dwi.

Berdasarkan data SKK Migas, pada 2021 ini diperlukan investasi sekitar US$ 12 miliar, lalu pada 2022-2023 masing-masing sebesar US$ 13 miliar, lalu naik menjadi US$ 16 miliar pada 2024, US$ 17 miliar pada 2025, dan US$ 19 miliar pada 2026.

Kebutuhan investasi terlihat akan meningkat dua kali lipat pada 2027 menjadi US$ 23 miliar, lalu 2028 US$ 22 miliar, US$ 25 miliar pada 2029 dan pada 2030 diperkirakan dibutuhkan investasi sebesar US$ 26 miliar.

Untuk mencapai target produksi minyak 1 juta bph dan gas bumi 12 BSCFD pada 2030, tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan yang dihadapi di sektor hulu migas ini.

Taslim Yunus, Sekretaris SKK Migas, turut memaparkan pandemi Covid-19 dan anjloknya harga minyak tahun lalu membuat tantangan industri migas global semakin berat di era new normal (normal baru) ini.

Pada 2020 sejumlah raksasa migas dunia pun memangkas anggaran investasinya, antara lain ExxonMobil memangkas 30% biaya investasinya, Shell dan Chevron memotong investasi 20%, BP dan ENI mengurangi hingga 25%.

Kondisi ini juga berdampak pada rencana investasi ke depannya. Pada 2020-2025 investasi migas dunia diperkirakan turun tajam sebesar US$ 500 miliar, di mana Asia Pasifik turun US$ 64 miliar atau 13% dari total penurunan.

"Dampaknya, porsi investasi yang masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia akan semakin kecil," imbuhnya.

Oleh karena itu, menurutnya perusahaan migas mau tidak mau harus beradaptasi menghadapi kondisi yang penuh tantangan saat ini.

Adaptasi yang dilakukan antara lain mengutamakan efisiensi modal dan tingkat pengembalian modal (Internal Rate of Return/ IRR) yang tinggi, menjalankan industri migas berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik.

Kemudian mengalihkan fokus kepada gas dan energi terbarukan, serta mengurangi dan menunda aktivitas eksplorasi. Meski dalam kondisi sulit menurutnya masih banyak cekungan yang belum dibor atau bahkan belum diproduksi.

Ini bisa menjadi sumber pengembangan migas dan menjadi potensi untuk menarik investasi ke depannya.

"Ke depan Indonesia Timur akan menjadi tujuan potensial. Kita lihat eksplorasi yang masih masif di sana bisa menghasilkan, bisa diproduksi," jelasnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular