
Jurus Baru Negara Kaya 'Hancurkan' Hegemoni Jalur Sutra China

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak mau kalah dengan China yang memiliki projek pembangunan infrastruktur 'Jalur Sutra' (Belt & Road Initiatives/BRI), negara-negara kaya yang tergabung dalam G7 membuat tandingan dengan proyek serupa yang dinamai Build Back Better World (B3W).
Inisiatif tersebut terbentuk setelah negara anggota G7 yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Jerman, Prancis , Italia dan Jepang berkumpul di Inggris Barat Daya minggu lalu.
Berbagai media internasional melaporkan inisiatif tersebut tidak hanya untuk menandingi BRI China yang sekarang kalau diestimasi nilainya sudah mencapai kurang lebih US$ 4 triliun.
Ambisi negara G7 termasuk besar karena lewat rencana B3W tersebut ditujukan untuk mereduksi kesenjangan infrastruktur di negara berkembang senilai US$ 40 triliun sampai 2035.
Menurut berbagai sumber, proyek tersebut akan digunakan untuk membantu pembiayaan infrastruktur dan sektor lain seperti perubahan iklim, masalah kesehatan hingga kesetaraan gender.
"Ini bukan masalah untuk melakukan konfrontasi dengan China. Namun sampai saat ini kami belum memberikan tawaran alternatif positif yang menunjukkan nilai serta standard dan cara kami dalam berbisnis" begitu kata pejabat senior Gedung Putih sebagaimana dikutip dari Reuters.
Belum jelas bagaimana alokasi anggaran dan besarannya. Namun yang pasti dari sudut pandang politik internasional, negara-negara G7 sepertinya tidak ingin peran China di dunia internasional semakin terlihat setelah pandemi Covid-19 terjadi.
Jadi bisa dibilang B3W adalah proyek saingan dari BRI China. Lantas apakah program ini jika dilaksanakan bakal mampu menandingi atau bahkan membendung semakin besarnya peran China di dunia internasional?
Jawabannya tidak sesederhana mampu atau tak mampu.
BRI sendiri sudah berjalan kurang lebih delapan tahun di bawah kepemimpinan Xi-Jinping. Namun strategi pembiayaan infrastruktur lewat skenario BRI ke negara-negara berkembang adalah melalui utang.
Adanya pandemi Covid-19 membuat outlook utang negara berkembang yang menjadi debitur China menjadi memburuk. Kemampuan bayarnya pun menurun.
Lowy Institute dalam artikelnya menyebut bahwa di bawah proyek BRI, bank negara China yaitu China Development Bank dan China Export-Import Bank telah meningkatkan penyaluran kreditnya berkali-kali lipat.
Bank Dunia memperkirakan bahwa pada 2019 China menyumbang 63% dari utang bilateral negara-negara termiskin kepada anggota G20. Pinjaman China cenderung memiliki motif politik, dengan pengaturan pembiayaan yang tidak jelas yang terkait dengan energi, sumber daya alam, atau kesepakatan komoditas yang lebih luas.
Motif China untuk memberikan utangan kepada negara-negara miskin dan berkembang tersebut dikhawatirkan bakal semakin memperburuk kondisi negara-negara debitur karena tumpukan utang yang semakin menggunung.
Pakistan merupakan debitur terbesar China, dengan komitmen yang diperkirakan mencapai US$ 62 miliar untuk Koridor Ekonomi China-Pakistan, sebuah proyek besar yang dirancang untuk memberi China alternatif selain Selat Malaka untuk impor energinya.
Pakistan berupaya untuk melakukan perpanjangan pembayaran pinjaman China senilai US$ 30 miliar. Di Laos, China membiayai proyek kereta api berkecepatan tinggi hingga US$6 miliar atau setara dengan 35% dari PDB negara itu. Peringkat kredit Laos baru-baru ini diturunkan oleh Fitch menjadi CCC.
Negara-negara Asia lainnya yang telah beralih ke China untuk bantuan pembiyaan pembangunan ekonominya adalah Maladewa dan Sri Lanka. Selama dua dekade terakhir, China telah meminjamkan negara-negara Afrika hampir senilai US$ 150 miliar.
Belum lama ini dua debitur besar China seperti Ethiopia dan Zambia tengah berusaha untuk menegosiasikan kembali komitmen mereka. Angola telah meminjam kurang lebih US$ 43 miliar, terutama untuk investasi terkait minyak.
"Sifat pembiayaan China yang terfragmentasi, dari sumber milik negara dan komersial, membuat sulit untuk melacak siapa berutang apa kepada siapa." tulis Lowy Institute.
Halaman 2>>
Akibat pandemi Covid-19, pendapatan negara dan sektor swasta negara-negara berkembang mengalami penurunan yang tajam. Hal ini berdampak pada kemampuan bayar kewajiban negara-negara tersebut kepada krediturnya. Salah satunya China lewat inisiatif BRI-nya.
Akibat pandemi dan tekanan keuangan lainnya telah mengakibatkan sekitar US$ 94 miliar pinjaman Belt and Road harus dinegosiasikan ulang. Untuk memasukkan jumlah uang itu ke dalam konteks, nilai tersebut kira-kira setara dengan output PDB tahunan negara-negara seperti Kenya dan Sri Lanka, dan lebih dari output PDB Bulgaria, Myanmar atau Uzbekistan.
Penelitian dari Rhodium Group menunjukkan bahwa sekitar 15 negara sekarang mencoba untuk menegosiasikan kembali utang proyek BRI dengan Beijing, dengan yang diperkirakan mencapai US$ 28 miliar dari US$ 94 miliar masih harus ditangani.
Rhodium mengatakan sulit untuk menentukan angka secara tepat dan kemungkinan yang dilaporkan merupakan perkiraan yang lebih rendah karena negosiasi utang umumnya ditangani dengan sangat rahasia dan sulit untuk mendapatkan transparansinya.
![]() |
Namun jika melihat angka yang direstrukturisasi hanya US$ 21 miliar dari US$ 4 triliun maka risikonya sangatlah kecil bagi China. Artinya rasio utang bermasalahnya hanya 0,5% dari total. Bahkan dengan peningkatan restrukturisasi pinjaman di tahun ini pun risikonya masih sangat terkontrol bagi China.
Hanya saja itu merupakan sudut pandang dari China. Jika diambil sudut pandangnya dari negara debitur tentu saja ini memberatkan. Sebab itu banyak juga yang kontra terhadap kerja sama dengan China melalui BRI karena hanya akan menimbulkan jebakan utang yang merugikan negara-negara debitur.
Dari sisi politik internal dalam negeri negara debitur, proyek BRI sudah banyak mendapat penolakan. Di saat itulah B3W mencoba hadir. Namun apakah bisa menandingi BRI atau tidak harus diketahui juga berapa nilainya, alokasinya dan yang lebih penting adalah skenario kerja samanya seperti apa.
(twg/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article China Murka, G7 Disebut Ambil Untung & Manipulatif