
RI Kian Abaikan Harta Karun Top 2 Dunia, Ini Kata Pengusaha

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS), namun sayangnya pemanfaatannya belum juga optimal.
Dari sumber daya panas bumi sebesar 23.965,5 Mega Watt (MW), pemanfaatannya hingga 2020 baru mencapai 2.130,7 MW atau 8,9% dari total sumber daya yang ada.
Harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang masih tinggi membuat PLN kurang memprioritaskan sumber listrik ini. PT PLN (Persero) selaku pembeli listrik tentunya akan bernegosiasi untuk mendapatkan harga terendah. Bila harga rendah, ini juga menyulitkan pengembang untuk berinvestasi. Alhasil, ini menjadi salah satu penyebab tidak berkembangnya panas bumi di Tanah Air.
Demi menekan harga listrik panas bumi, pemerintah berinisiatif membantu pengembang dengan ikut melakukan pengeboran eksplorasi sumur panas bumi. Pengeboran panas bumi akan dilakukan oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun inisiatif tersebut tampaknya tidak akan bertahan lama dan tidak berkelanjutan. Tahun depan, anggaran untuk ngebor panas bumi malah disunat.
Anggaran membor panas bumi yang masuk ke dalam satuan kerja Pusat Sumber Daya Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2022 diusulkan dipangkas hingga Rp 302 miliar menjadi Rp 68 miliar dari posisi anggaran tahun ini sebesar Rp 370 miliar.
Lantas, bagaimana pendapat industri panas bumi mengenai hal ini?
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi mengapresiasi upaya pemerintah untuk menekan risiko dengan ikut melakukan pengeboran. Meski demikian, ikut melakukan pengeboran dengan menggunakan dana APBN menurutnya bukanlah sebuah solusi karena keuangan negara terbatas.
Terkait harga jual listrik, menurutnya selama harga jual listrik masih diatur oleh pemerintah, maka PLN akan memilih listrik yang paling murah.
"Selama penjualan listrik ke masyarakat oleh PLN tidak boleh naik atau diatur oleh pemerintah bukan berdasarkan keekonomiannya, nggak bisa disalahkan kalau PLN mencari fuel yang murah atau terjangkau," tuturnya.
Dia mengatakan, yang dibutuhkan industri panas bumi adalah kompensasi berupa tingkat pengembalian modal yang adil sesuai dengan risikonya.
"Swasta yang mau mengambil risiko eksplorasi dari awal juga harus diberikan kesempatan dengan kompensasi return yang fair sesuai dengan resiko yang diambil," ucapnya.
Menurutnya, semua jenis energi seharusnya saling melengkapi, bukan untuk dikompetisikan. Pasalnya, ongkos produksi setiap jenis energi berbeda-beda, tergantung pada besaran bauran energi yang digunakan.
"Mereka sifatnya saling melengkapi. Ada yang mahal dan ada yang murah, sehingga referensi tarif bukan yang termurah, tapi yang optimum berdasarkan bauran energi tersebut," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan optimum di sini berarti faktor berkelanjutan dan lingkungan yang juga mesti diperhatikan.
Dia menegaskan isu energi berkelanjutan dan pengurangan emisi adalah bukan hanya tanggung jawab PLN atau pengembang, tapi juga pemerintah.
"Jadi pemerintah wajib hadir untuk menjembatani antara kemampuan beli dengan harga keekonomian," tegasnya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI dengan Badan Geologi, Senin (07/06/2021), Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono memaparkan, anggaran satuan kerja Pusat Sumber Daya Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi pada 2022 diusulkan dipangkas.
Pemangkasannya bahkan sampai Rp 302 miliar menjadi Rp 68 miliar dari anggaran tahun ini sebesar Rp 370 miliar. Adapun anggaran pemboran panas bumi masuk ke dalam satuan kerja tersebut.
"Ini kalau kita lihat, di mana perbandingan penurunan APBN 2021 dan 2022 per satuan kerja yang sangat signifikan adalah terkait dengan pengembangan panas bumi," paparnya saat RDP dengan Komisi VII DPR RI, Senin (07/06/2021).
Menurutnya, tahun ini Badan Geologi diberikan amanat untuk melakukan pemboran panas bumi di dua lokasi dengan nilai sekitar Rp 290 miliar, namun tahun depan menurutnya kondisi tidak memungkinkan, sehingga ditiadakan.
"Tahun 2021 ini kita diberi amanat untuk pemboran panas bumi di dua lokasi 290 miliar lebih. Di 2022 karena kondisi gak mungkin, maka ditiadakan, termasuk di dalamnya terkait survei data, akuisisi data seismik 2D, 2022 gak ada, sehingga anggaran turun signifikan," paparnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Berlimpah Harta Karun Top 2 Dunia, Tapi Baru Dipakai 10%
