Hati-hati, Rencana RI Pensiunkan PLTU Bisa Ada Imbasnya

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
03 June 2021 12:45
PLTU Tanjung Jati B (Dok. PLN)
Foto: PLTU Tanjung Jati B (Dok. PLN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah dan PT PLN (Persero) mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara mulai 2025 memiliki tujuan yang baik, yakni menekan emisi menuju netral karbon pada 2060 mendatang.

Namun demikian, jika dilakukan tanpa perencanaan dan persiapan matang, maka ini bisa menimbulkan konsekuensi, baik kepada PLN maupun keuangan negara.

Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), berpandangan bahwa operasional PLTU ini tidak bisa langsung dihentikan begitu saja karena ada konsekuensi kontrak, seperti kontrak jual beli listrik antara pengembang listrik dengan PLN sebagai pembeli listrik.

Untuk itu, menurutnya sejumlah konsekuensi tersebut harus diminimalisir, terutama terkait dengan kontrak-kontrak yang terlanjur diteken atau berjalan. Misalnya saja, imbuhnya, ada yang sudah menggunakan kontrak take or pay, sehingga bila pembangkit dihentikan tiba-tiba, otomatis juga akan ada konsekuensi pada keuangan negara.

Skema kontrak take or pay yaitu PLN diwajibkan menyerap listrik dari pengembang listrik (Independent Power Producers/ IPP) dalam jumlah minimal sekian persen dari kapasitas total pembangkit listrik. Bila tidak, maka PLN harus membayar pinaltinya.

"Harus minimalisir konsekuensi kontrak, jadi nggak bisa stop begitu saja. Konsekuensi karena masalah kontrak dan mereka dengan kontrak take or pay misalnya, otomatis ada konsekuensi pada keuangan negara juga. Itu dari aspek kontrak yang akan terminasi dan digantikan," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (03/06/2021).

Meski demikian, Satya pun menegaskan bahwa sebenarnya pemerintah sudah tidak mengizinkan pembangunan PLTU baru di Jawa sejak beberapa tahun lalu. Upaya pemerintah mempensiunkan PLTU saat ini merupakan ekspansi yang lebih besar.

Seperti diketahui, pemerintah memiliki komitmen besar dalam mengejar bauran energi baru terbarukan 23% pada 2025 mendatang dan 29% pada 2030, di mana dengan bantuan internasional bisa meningkat menjadi 41% pada 2030.

"Sudah ada di skenario, kurangi emisi karbon baik di sektor energi, perubahan lahan, dan industri, ini adalah komitmen," ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini kapasitas produksi listrik di Indonesia mencapai 300 Tera Watt hour (TWh), dan diperkirakan akan terus meningkat sampai dengan 1.800 TWh pada 2060.

Ditambah dengan kapasitas 120 TWh dari proyek pembangkit 35 Giga Watt (GW), maka nantinya masih diperlukan tambahan produksi 1.380 TWh hingga 2060 mendatang. Artinya, permintaan listrik akan jauh lebih besar dari kapasitas saat ini.

"Banyak ruang kembangkan energi bersih kemudian hari, kita di DEN yang diamanahi buat peta jalan, sekarang bahas transisi energi dari fosil ke energi yang lebih bersih," paparnya.

Satya menyebut, dalam membuat peta jalan ini semua aspek akan menjadi pertimbangan. Melihat kebutuhan yang sangat tinggi pada tahun 2060 mendatang, maka pihaknya meminta agar ada jaminan mengenai pasokan listrik.

"Pembangkit non fosil intermittent (berjeda) ini perlu pertimbangan betul. Apabila ganti dengan EBT yang punya intermitensi tinggi bayu, air, geothermal cukup bagus jadi base load tapi nggak untuk lain, solar (surya/ PLTS) itu intermitensi besar," lanjutnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mimpi PLN: 2060 Seluruh Pembangkit RI dari Energi Bersih

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular