Gencatan Senjata, Israel-Palestina Klaim Menang, What's Next?

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
22 May 2021 13:35
Polisi Israel serbu Al-Aqsa. (AP/Mahmoud Illean)
Foto: Polisi Israel serbu Al-Aqsa. (AP/Mahmoud Illean)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gencatan senjata dalam konflik antara Israel dan Palestina di Jalur Gaza yang dikendalikan oleh kelompok Islam Hamas, mulai berlaku Jumat pagi (21/05/2021) setelah 11 hari serangan udara dengan roket ditembakkan Israel.

Lantas, bagaimana awal mula terjadinya serangan ini? Dan apa yang akan dilakukan setelah gencatan senjata dilakukan?

Melansir AFP, Sabtu (22/5/2021), ketegangan awalnya tersulut di lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur, di mana polisi Israel menindak orang-orang yang memprotes pengusiran keluarga Palestina dari rumah mereka, sehingga Yahudi bisa menyeruak masuk.

Saat hari terakhir Ramadan, pengunjuk rasa juga berulang kali bentrok dengan pasukan Israel di kompleks masjid Al-Aqsa, situs tersuci ketiga umat islam.

Hal itu mendorong Hamas pada 10 Mei untuk meluncurkan tembakan roket dari Gaza ke Israel, dalam "solidaritas" dengan orang-orang Palestina di Yerusalem.

Israel menanggapi dengan serangan udara dan mortir, memicu 11 hari pertempuran antara negara Yahudi itu dan jalur pantai padat penduduk yang diblokade Israel.

Tentara Israel mengatakan lebih dari 4.300 roket ditembakkan oleh Hamas. 12 orang tewas di Israel, termasuk seorang anak dan remaja, dengan seorang tentara diserang oleh rudal anti-tank, kata petugas medis Israel.

Sementara serangan udara Israel menewaskan 248 orang, termasuk 66 anak-anak di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di sana.

Meskipun ada gencatan senjata, warga Gaza, yang telah berada di bawah blokade Israel selama 15 tahun, "tetap terjebak di tepi kehancuran kemanusiaan," kata Hugh Lovatt, seorang anggota kebijakan di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.

Kedua belah pihak pun dengan cepat mengklaim keberhasilan dalam perang keempat antara Hamas dan Israel.

"Ini adalah euforia kemenangan," kata tokoh senior Hamas Khalil al-Hayya kepada ribuan orang dalam perayaan beberapa jam setelah gencatan senjata yang ditengahi Mesir.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun menyatakan bahwa pemboman 11 hari di Gaza adalah "sukses luar biasa".

Eugene Kontorovich, Direktur Hukum Internasional di sayap kanan Forum Kebijakan Kohelet Israel, berpendapat bahwa "Hanya karena Hamas merayakannya, tidak berarti mereka menang."

"Itu adalah perang defensif," katanya di Twitter. Jadi bagi Israel, "menang tidak akan menghasilkan apa-apa, hanya kelonggaran."

Bagi Hamas, Lovatt mengatakan bahwa kemenangan "dipandang sebagai pembelaan hak-hak Palestina, terutama dalam kaitannya dengan Yerusalem, dan menghadapi Israel."

Netanyahu mengatakan serangan itu menewaskan "lebih dari 200 teroris", termasuk 25 komandan senior.

Lovatt juga mengatakan "pemenang terbesar pertempuran mungkin adalah Netanyahu" sendiri.

Perdana menteri yang telah lama menjabat itu berada di ambang penggusuran karena kegagalannya untuk membentuk koalisi setelah pemilihan pada bulan Maret, jajak pendapat nasional keempat Israel yang menemui jalan buntu dalam dua tahun.

Dengan gencatan senjata tersebut, para aktor dunia mengalihkan fokus mereka ke krisis kemanusiaan di Gaza, yang telah bergulat dengan pandemi virus Corona.

Tepat sebelum gencatan senjata pada hari Kamis, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB mengeluarkan permohonan mendesak sebesar US$ 7 juta untuk mendanai "tanggap darurat komprehensif".

Kemudian pada hari Jumat, juru bicara WHO Margaret Harris menandai prioritas "fasilitasi akses langsung atau reguler untuk persediaan kesehatan, petugas kesehatan dan pasien masuk dan keluar dari Gaza dan pembentukan koridor kemanusiaan."

Sementara sebagian dari dana ini juga ditujukan untuk West Bank, fokusnya sebagian besar berada di Gaza, yang satu-satunya fasilitas pengujian Covid-19 dihentikan oleh serangan udara dan listrik hanya menyala selama sekitar empat jam sehari.

Dana Tanggap Darurat Pusat PBB mengatakan konvoi pertolongan pertama akan melewati Gaza pada Jumat malam, dan telah mengeluarkan US$ 18,5 juta untuk upaya kemanusiaan.

Di luar tanggap darurat, perhatian akan tertuju pada rekonstruksi jangka panjang di daerah yang diblokade.

Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi minggu ini menjanjikan US$ 500 juta untuk tujuan itu.

Fabrizio Carboni, Direktur Regional Komite Internasional Palang Merah di Timur Tengah dan sekitarnya, mengatakan bahwa "pada blokade, saya berasumsi bahwa ini akan menjadi bagian dari penyelesaian dan diskusi politik yang lebih besar," seperti dikutip dari AFP, Sabtu (22/05/2021).

Tetapi komplikasi mungkin muncul dari fakta banyak pemerintah asing menolak untuk terlibat dengan Hamas, yang ditunjuk sebagai organisasi teroris oleh Uni Eropa dan AS yang menyalurkan upaya mereka melalui Otoritas Palestina yang berbasis di West Bank, yang didominasi oleh saingan Hamas.

Presiden AS Joe Biden "telah berjanji untuk bekerja dengan pihak berwenang Palestina untuk merehabilitasi Gaza sambil berusaha untuk mengesampingkan dan melemahkan Hamas," kata Lovatt.

Tapi mengingat kekuatan Hamas di lapangan, "kebijakan seperti itu bukan hanya tidak realistis ... itu menjanjikan krisis yang berkelanjutan".

"Tidak adanya keterlibatan politik internasional bersama untuk menyelesaikan pendorong inti yang menyebabkan konflik terbaru ini, perang kelima dengan Israel hanya masalah waktu."

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular