Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor komoditas tambang kini seolah mendapatkan "durian runtuh" alias keuntungan besar. Pasalnya, harga sejumlah komoditas tambang kini tengah mengalami tren super siklus atau harga tinggi dan diperkirakan dalam waktu panjang, termasuk batu bara, emas, nikel, hingga tembaga.
Setiap tahunnya Indonesia memproduksi ratusan juta ton batu bara, jutaan logam nikel, ratusan ribu ton katoda tembaga, dan puluhan ton emas. Bahkan, kebanyakan komoditas tambang tersebut masih diekspor.
Berdasarkan data Bank Indonesia, setidaknya ada lima komoditas tambang yang indeks harganya melonjak pada kuartal I 2021 ini, antara lain batu bara, timah, tembaga, nikel, dan aluminium. Indeks harga ini menunjukkan apakah komoditas tersebut mengalami kenaikan atau penurunan harga dan seberapa besar perubahannya.
Tahun ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara mencapai Rp 39,01 triliun, naik tipis dari realisasi penerimaan negara pada 2020 yang sebesar Rp 34,65 triliun.
Namun, dengan terus membubungnya harga hampir di semua komoditas tambang, baik batu bara, emas, nikel, dan tembaga membuat realisasi penerimaan negara hingga awal Mei ini tercatat sudah mencapai separuh dari target, tepatnya Rp 19,15 triliun atau 48,97% dari target satu tahun ini.
Hal tersebut berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM.
Untuk mengetahui keuntungan yang bisa dihasilkan RI dari menjulangnya harga-harga komoditas ini, berikut rincian masing-masing komoditas.
1. Emas
Saat dolar AS melemah, harga emas menguat. Itulah yang terjadi dalam satu bulan terakhir. Ketika indeks dolar AS terkoreksi 1,05%, harga si logam kuning menguat 5,62%. Tren bullish (penguatan) diperkirakan bakal berlanjut hingga minggu ini.
Pada perdagangan pagi Selasa (18/5/2021), harga emas dunia di pasar spot menguat 0,14% ke US$ 1.869 per troy ons.
Harga emas sekarang sudah diperdagangkan di atas pergerakan rata-rata harga 50, 100, dan 200 hariannya atau secara teknikal mencerminkan moving average (MA) untuk jangka waktu menengah dan panjang.
Berdasarkan data Bank Mandiri,harga emas pada tahun ini rata-rata diperkirakan bisa mencapai US$ 2.084 per troy ons dari US$ 1.772 per troy ons pada 2020.
Kenaikan harga emas ini juga bisa mendatangkan cuan bagi Indonesia. Apalagi, tahun ini pemerintah menargetkan produksi emas mencapai 81,90 ton, lebih tinggi dari realisasi produksi pada 2020 lalu yang hanya 28,88 ton.
Salah satu produsen emas di Indonesia yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Pada kuartal I 2021, Antam telah menjual emas sebesar 7,41 ton (238.269 troy ons), naik 45% dibandingkan periode yang sama pada 2020.
Sementara PT Freeport Indonesia menargetkan produksi emas pada 2021 ini mencapai 1,4 juta ons, lebih tinggi dari 2020 yang hanya sebesar 800 ribu ons.
2. Tembaga
Kenaikan harga tembaga dalam kurun waktu dua bulan terakhir mestinya membuat RI semakin kaya raya. Di awal Mei 2021, tepatnya tanggal 6 Mei 2021, harga tembaga di London Metal Exchange (LME) tembus di level US$ 10.025 per metrik ton (MT).
Tak berhenti di situ, harga tembaga terus saja naik, bahkan pada tanggal 10 Mei pekan lalu sempat menyentuh US$ 10.724,5 per MT, meski pada 14 Mei harus turun ke level US$ 10.212 per MT. Pada perdagangan Selasa (18/05/2021), harga tembaga kembali naik menjadi US$ 10.465 per ton.
Dalam jangka panjang harga tembaga digadang-gadang masih akan terus menunjukkan tren positif. Harganya berpotensi menyentuh US$ 20.000 per MT di 2025. Proyeksi ini berdasarkan analisis Bank of America (BofA), seperti dilansir dari CNBC International.
Berdasarkan data Bank Indonesia, indeks harga tembaga pada kuartal I 2021 mencapai 50,3, lebih tinggi dibandingkan kuartal IV 2020 yang sebesar 21,6 atau bahkan periode yang sama tahun lalu atau kuartal I 2020 yang -7,8.
Kementerian ESDM menargetkan produksi katoda tembaga pada tahun ini sebesar 291.000 ton dan penjualan 296.000 ton.
Jika harga jual rata-rata tembaga mencapai US$ 10.000 per ton, artinya Indonesia bisa mendapatkan penghasilan US$ 2,96 miliar atau sekitar Rp 41,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$) dari penjualan katoda tembaga.
Itu pun baru hasil penjualan logam atau katoda tembaga, belum termasuk konsentrat tembaga yang masih diekspor PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
PT Freeport Indonesia, sebagai produsen tembaga terbesar RI, tahun ini menargetkan produksi konsentrat tembaga mencapai 1,4 miliar pon, meningkat dari produksi di 2020 yang sebesar 800 juta pon.
Adapun katoda tembaga ini diproduksi oleh PT Smelting, yang mengoperasikan smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur. PT Smelting ini dimiliki oleh Mitsubishi Materials Corporation (MMC) dan PT Freeport Indonesia.
Smelter ini mengolah 1 juta metrik ton konsentrat tembaga per tahun menjadi katoda tembaga sekitar 300 ribu ton per tahun. Smelter ini mengolah 40% dari produksi konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia.
Berdasarkan data Freeport McMoran, produksi bijih tembaga PT Freeport Indonesia dari Grasberg Block Cave dan tambang bawah tanah Deep Mill Level Zone (DMLZ) diperkirakan mencapai 98.5000 metrik ton bijih per hari.
3. Nikel
Harga nikel sejak akhir tahun lalu hingga kini terus menanjak naik di atas US$ 16.000 per ton. Di awal 2021 harga nikel di London Metal Exchange sebesar US$ 17.344 per ton, lalu terus menanjak hingga akhirnya menembus rekor tertinggi pada 22 Februari 2021 yang mencapai US$ 19.689 per ton.
Meski setelahnya turun kembali, namun rata-rata masih berkisar US$ 16.000-an per ton dan pada Mei ini menunjukkan adanya perbaikan kembali. Pada 10 Mei harga nikel di LME sempat menyentuh US$ 18.070 per ton, dan pada perdagangan Selasa (18/05/2021), harga nikel menyentuh US$ 18.142 per ton, meningkat dari Senin (17/05/2021) yang tercatat sebesar 17.723 per ton.
Namun demikian, harga ini masih lebih tinggi dibandingkan kondisi pada 2020, di mana harga tertinggi pada 15 Desember 2020 yang sebesar US$ 17.650 per ton, namun terendah pada 23 Maret 2020 yang hanya sebesar US$ 11.055 per ton. Adapun rata-rata harga nikel di LME pada 2020 yakni sekitar US$ 12.000-13.000 per ton.
Berdasarkan data Bank Indonesia, indeks harga nikel membubung menjadi 37,9 pada kuartal I 2021 dari 3,8 pada periode yang sama tahun lalu.
Data Bank Mandiri juga menyebutkan bawah harga nikel pada tahun ini diperkirakan rata-rata akan menyentuh US$ 15.215 per ton pada 2021 dari US$ 13.862 per ton pada 2020.
Dengan memproduksi puluhan juta ton bijih nikel per tahunnya, Indonesia seharusnya mendulang emas dari kenaikan harga nikel ini.
Untuk nickel pig iron (NPI), pemerintah menargetkan produksi dan penjualan sebesar 901.080 ton pada 2021 ini, naik dari realisasi produksi pada 2020 yang sebesar 860.484,35 ton dan penjualan 179.697,18 ton.
Sementara produksi dan penjualan feronikel pada tahun ini ditargetkan naik menjadi 2.107.071 ton dari produksi pada 2020 yang sebesar 1.479.970,98 ton.
Sedangkan untuk nickel matte pada 2021 ini ditargetkan diproduksi dan dijual 78 ribu ton. Sementara produksi nickel matte pada 2020 mencapai 91.704,76 ton dan penjualan 72.845,53 ton.
4. Batu Bara
Harga batu bara acuan Ice Newcastle berhasil menembus level tertinggi dalam 2,5 tahun terakhir, tepatnya melonjak menjadi US$ 104,65 per ton pada perdagangan Kamis (14/05/2021) pekan lalu. Harga tersebut merupakan tertinggi sejak November 2018 lalu.
Meski kini harga batu bara turun 3% menjadi di bawah US$ 100 per ton pada perdagangan Senin (17/05/2021) kemarin, yakni US$ 98,2 per ton, namun ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang dirilis Kementerian ESDM setiap bulannya menunjukkan, harga batu bara tertinggi pada 2020 hanya sebesar US$ 67,08 per ton pada Maret 2020, dan lantas terus menurun hingga terendah mencapai US$ 49,42 per ton pada September 2020.
Berdasarkan data Bank Indonesia, indeks harga batu bara mencapai 19,5 pada kuartal I 2021, jauh lebih tinggi dibandingkan kuartal I 2020 yang -8,0. Sementara data Bank Mandiri menyebutkan bahwa harga batu bara pada tahun ini diproyeksikan rata-rata mencapai US$ 87,6 per ton, meningkat dibandingkan harga rata-rata pada 2020 yang sebesar US$ 60,3 per ton.
Adanya lonjakan harga batu bara sejak awal tahun ini juga turut dimanfaatkan pemerintah dengan menaikkan target produksi batu bara pada tahun ini sebesar 75 juta ton menjadi 625 juta ton dari rencana semula 550 juta ton.
Adapun kenaikan target produksi sebesar 75 juta ton tersebut ditujukan untuk ekspor. Dengan demikian, di tengah kondisi harga batu bara yang terus membubung, maka Indonesia bisa semakin diuntungkan dengan peningkatan produksi ini. Pasalnya, ini bisa berdampak pada peningkatan penerimaan negara dari sisi royalti, pajak penghasilan perusahaan, dan lainnya.