
Malapetaka di Tanah Gaza, Dunia Diminta Boikot Produk Israel

Jakarta, CNBC Indonesia - Jalur Gaza kembali mencekam dengan adanya agresi militer seiring dengan memanasnya hubungan antara Palestina dengan Israel. Konflik yang 'meledak' kali ini merupakan yang terbesar sejak 2014.
Kisruh berawal dari pendudukan Israel atas tanah warga Palestina di Sheikh Jarrah. Ini kemudian merembet ke bentrokan di lingkungan Masjid Al-Aqsa, yang berlanjut dengan pengusiran jemaah yang tengah salat saat Ramadan lalu.
Situasi pun makin pelik saat Hamas, sebagai organisasi militer penguasa Jalur Gaza, menyerang Israel dengan roket yang dibalas militer Yahudi. Hingga kini serangan udara terus dilancarkan Israel tanpa pandang bulu, termasuk ke kamp pengungsi Palestina dan rumah penduduk sipil.
Melansir Reuters, setidaknya 197 warga Palestina tewas karena serangan itu, di mana sebanyak 58 di antaranya adalah anak-anak dan 34 wanita. Israel juga menyebut 10 warganya tewas termasuk dua anak-anak.
Konflik pelanggaran HAM yang heboh satu minggu terakhir tersebut menyita perhatian banyak pihak. Mulai dari pejabat publik, artis hingga masyarakat luas.
Negara-negara muslim dan yang mayoritas penduduknya beragama Islam mengutuk keras aksi tersebut. Mereka melihat akar penyebab konflik adalah pendudukan dan penyerobotan tanah yang dilakukan Israel.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) tak terkercuali. Jokowi mengatakan sudah berkomunikasi dengan sejumlah pejabat negara lain seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, PM Singapura Lee Hsien Loong, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah dan PM Malaysia Muhyiddin Yasin.
Ia pun menyampaikan kecaman atas serangan Israel ke Palestina. Menurutnya konflik harus segera dihentikan karena telah menelan korban terutama perempuan dan anak-anak.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guteres juga meminta masing-masing negara untuk melakukan de-eskalasi. Namun para pemimpin kedua belah pihak susah untuk mencapai kesepakatan.
Simpatisan Palestina kini pun mulai beraksi. Mereka yang tergabung dalam gerakan boikot Israel "Boycott, Divest and Sanctions (BDS) Israel" meminta semua pihak mem-blacklist Negeri Benjamin Netanyahu.
BDS bahkan mengajak dunia untuk mengembargo militer Israel serta memutuskan hubungan dengan pihak maupun korporasi yang terlibat dalam pendudukan Israel atas Palestina. Mereka juga meminta boikot produk-produk Israel hingga mengajak investor untuk mendivestasikan asetnya di Israel.
Beberapa merek yang turut dikampanyekan untuk diboikot adalah HP, PUMA, Soda Stream hingga komoditas berupa alpukat. Sanksi ekonomi ini diharapkan dapat membuat Israel berhenti melakukan agresi.
Meskipun size ekonominya kecil, tetapi Israel memiliki teknologi yang canggih, terutama dalam hal militer. Risetnya yang maju membuat Israel menjadi daya tarik untuk dijajaki kerja sama.
Kembali memanasnya Israel-Palestina juga membuat perkembangan normalisasi hubungan negara-negara Semenanjung Arab menjadi menggantung. Sebagai informasi, di masa pemerintahan Presiden AS Donald Trump (2017-2021) setidaknya ada empat negara Timur Tengah yang berusaha untuk menormalisasi hubungan dan membuka peluang kerja sama dengan Israel.
Mereka adalah Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan yang terlibat dalam perjanjian Abraham. Selain membuka jalan untuk kemajuan ekonomi besar harapan negara-negara tersebut untuk ikut serta menyelesaikan konflik di Palestina yang sedang terjadi.
Namun harapan tersebut seolah pupus dengan meletusnya konflik baru-baru ini. Uni Emirat Arab berada di posisi yang sulit setelah sebelumnya mengumumkan kepada rakyatnya tentang manfaat bekerja sama dengan Israel di bidang perdagangan, pariwisata, riset medis, ekonomi hijau hingga riset dan pengembangan saintifik.
Sekali lagi ini menjadi cerminan bahwa di tahun 2021 tensi geopolitik belum akan mereda. Jika sebelumnya AS dengan China, kemudian China dengan Australia, Barat dengan Timur dan kini kembali ke Timur Tengah.
Semakin maraknya tensi geopolitik global tentu saja akan berdampak negatif untuk pemulihan dan perkembangan ekonomi global. Bagaimanapun juga yang namanya perang tidak ada yang diuntungkan karena kalah jadi abu, menangpun hanya jadi arang.
(twg/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedih! Lagi Ramadan, Warga Palestina Ketakutan Bakal Diserang