PPN di RI Paling Rendah, Ada Benernya, Tapi....

Tirta, CNBC Indonesia
12 May 2021 17:25
Konferens Pers hasil rapat berkala II KSSK Tahun 2021. (Tangkapan layar Youtube Kemenkeu)
Foto: Konferens Pers hasil rapat berkala II KSSK Tahun 2021. (Tangkapan layar Youtube Kemenkeu)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perbincangan terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan sudah mulai digaungkan. Rencana ini tak lepas dari upaya peningkatan pendapatan pemerintah di tengah utang yang semakin menggunung. 

Untuk saat ini pemerintah menetapkan tarif PPN sebesar 10%. Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan single tarif untuk PPN atau Value Added Tax (VAT). Hal ini merupakan amanat Undang-Undang PPN 2009 dengan kisaran PPN sebesar 5%-15%.

Untuk tahun 2021, tema kebijakan fiskal pemerintah masih ekspansif. Pengembalian pendahuluan PPN juga merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pelaku usaha yang masuk ke dalam anggaran senilai Rp 45,08 triliun. 

Apabila tahun depan tarif PPN dinaikkan 5% menjadi 15% dan diasumsikan penerimaan PPN tahun ini naik 10% dari tahun lalu maka bakal ada tambahan pendapatan negara sebesar kurang lebih Rp 75 triliun. Tentu saja ini merupakan kalkulasi kasar. 

Sebagai salah satu negara yang memberlakukan single tarif, ternyata besaran PPN di Indonesia memang tergolong yang masuk ke dalam jajaran terendah di dunia. Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo rata-rata PPN global di kisaran 11% - 30%. 

Dengan tarif 10% Indonesia jelas di bawah rata-rata global. Saat ini ada beberapa negara yang memberlakukan tarif PPN sebesar 10% seperti di Indonesia. Menurut data PwC negara tersebut antara lain Australia, Korea Selatan dan kebanyakan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos dan Kamboja. 

Tarif PPN di negara-negara anggota ASEAN memang cenderung rendah. Di Singapura yang maju pun dan kebetulan juga negara surga pajak tarif PPN hanya 8%. Untuk kasus Malaysia juga sama dengan Indonesia tarif PPN 10% tetapi untuk jasa lebih rendah yaitu 6%. 

Dalam hal kenaikan pajak Indonesia nampaknya berkiblat pada Arab Saudi. Negara kaya minyak mentah tersebut akhirnya menaikkan tarif PPN menjadi 15% padahal sebelumnya saat pandemi hanya 5% saja. 

Selama pandemi Covid-19 melanda dunia, tak ada satu negara di dunia pun yang tak kalang kabut. Ketika pendapatan masyarakat dan sektor dunia usaha terpukul mau tak mau pemerintah harus menanggung short fall pajak. Di saat yang sama belanja pemerintah harus digenjot untuk menyelamatkan perekonomian. 

Alhasil pasak yang sudah besar semakin besar daripada tiang. Defisit anggaran yang biasanya dijaga di bawah 3% PDB tahun lalu jebol sampai 6% PDB lebih. Tahun ini defisit fiskal diproyeksikan bakal tetap lebih dari 3% PDB tetapi tak sebesar tahun lalu di angka 5,7% PDB.

Dalam mengelola ekonomi makro, defisit adalah hal lumrah terjadi yang menunjukkan bahwa kebijakan fiskal sedang ekspansif. Namun selain ekspansinya ke arah mana, hal yang perlu diperhatikan juga adalah seberapa besar defisitnya dan bagaimana perkembangannya dari waktu ke waktu. 

Pemerintah tak bisa membiarkan begitu saja defisit terus membengkak. Defisit yang bengkak ini akan ditambal dengan utang. Semakin banyak utang memang tidak menjamin akan langsung menimbulkan risiko gagal bayar (default). 

Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan seperti bagaimanakah utang itu dikelola mulai dari rata-rata bunga, tenor jatuh tempo, porsi utang dalam mata uang domestik atau valas, utang terhadap pendapatan nasional, pertumbuhan utang, bunga dan juga pendapatan nasional hingga masih banyak lagi. 

Walaupun indikator debt to GDP tidak bisa menggambarkan utang Indonesia secara komprehensif, tetapi dari peningkatannya yang pesat dalam lima tahun terakhir sudah menunjukkan bahwa pemerintah saat ini menimbun utang. 

Untuk saat ini rata-rata waktu jatuh tempo utang RI masih cukup panjang sehingga dalam waktu dekat masih bisa bernapas. Namun dalam kondisi defisit fiskal yang besar seperti ini risiko pembalikan modal akibat risiko ketidakpastian kebijakan moneter The Fed juga turut membayangi kebijakan pembiayaan pemerintah. 

Saat inflasi di AS naik dan The Fed naikkan suku bunga, maka easy money yang selama ini terparkir di negara berkembang bisa balik kampung. Appetite pasar memburu surat utang pemerintah menjadi surut. Ini risiko yang pastinya sudah dihitung pemerintah. 

Untuk itu pendapatan harus digenjot. PPN akan dinaikkan. Namun dampaknya akan seperti apa jika PPN dinaikkan? PPN sendiri adalah pajak yang dikenakan berdasarkan transaksi. Artinya harus ada konsumsi dulu dari pelaku ekonomi agar pajak ini dapat dikenakan. 

Menariknya konsumsi terutama rumah tangga merupakan tulang punggung ekonomi. Untuk saat ini daya beli masyarakat masih lesu. peningkatan tarif PPN yang tidak tepat hanya akan membuat konsumsi makin tak bergairah. Hal ini harus diwaspadai. Apalagi jika dilihat penambahannya hanya 3% dari total anggaran pemerintah. 

Inflasi inti yang terus menurun menjadi cerminan bahwa daya beli masyarakat sendiri sedang kurang 'fit', sehingga kebijakan peningkatan PPN ini perlu dikaji lebih dalam lagi. Apabila memungkinkan untuk tidak single tariff bisa dilakukan juga untuk memilih sektor-sektor mana yang lebih cocok untuk dipungut lebih. 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular