
PPN Naik: Tidak Adil, Tidak Pro-Growth, Tidak Mau Susah!

Pada kuartal I-2020, PDB Indonesia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 0,74% yoy. Penyebab utamanya adalah konsumsi rumah tangga yang tumbuh -2,23% yoy.
"Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang terkontraksi 0,74% kalau dilihat dari sumber pertumbuhan ekonominya, konsumsi rumah tangga merupakan sumber kontraksi yang terdalam yaitu sebesar -1,22%," ungkap Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).
Ketika tarif PPN naik, yang kemudian diikuti kenaikan harga barang dan jasa, tentu menjadi tantangan tersendiri untuk mendorong konsumsi lebih tinggi. Saat konsumsi sulit didongkrak, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan sulit terangkat.
"Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% untuk lepas dari middle income trap hingga 2045," kata Suharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas).
Kalau konsumsi rumah tangga tertahan karena kenaikan PPN, maka target 6% itu bukan hal gampang untuk tercapai. Jangan-jangan Indonesia akan selamanya menjadi negara berpendapatan menengah, tidak bisa 'naik kelas' jadi negara berpendapatan tinggi.
Belajar dari pengalaman di Jepang, kenaikan tarif PPN akan langsung menurunkan konsumsi. Pada 1997, pemerintah Negeri Matahari Terbit menaikkan tarif PPN dari 3% jadi 5%. Hasilnya, konsumsi rumah tangga terkontraksi 0,76% pada 1998.
Pada 2014, tarif PPN kembali dinaikkan dari 5% menjadi 8% dan pada Oktober 2015 naik lagi jadi 10%. Pada 2016, konsumsi rumah tangga tumbuh -0,93%.
Mengutip laporan Japan Research Institute (JRI), kenaikan tarif PPN akan menaikkan harga barang dan jasa sebesar 0,9%. Ini akan membuat pengeluaran konsumen berkurang 0,6% dan berdampak 0,4% terhadap PDB.
Halaman Selanjutnya --> Kenaikan Tarif PPN Melenceng dari Semangat Redistribusi Pendapatan
(aji/aji)