Pasar 'Power Bank' Raksasa RI Besar, PLN Saja Butuh 1,8 GWh

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
10 May 2021 13:45
Tesla Powerwall (Tesla.com)
Foto: Tesla Powerwall (Tesla.com)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia kini berencana membangun pabrik baterai, tak hanya untuk kendaraan listrik, namun juga untuk menopang operasional energi baru terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya.

Selain membentuk Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khusus di bidang industri baterai terintegrasi dari hulu sampai hilir melalui Indonesia Battery Corporation (IBC), pemerintah juga gencar mendekati pemain baterai global, mulai dari investor China CATL, Korea Selatan LG, hingga perusahaan Amerika Serikat Tesla.

Tesla pun dikabarkan berminat untuk berinvestasi di bidang Energy Storage System (ESS), berupa baterai penyimpanan energi untuk kelistrikan atau seperti "power bank" raksasa, seperti untuk menopang keandalan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Pasar baterai, termasuk untuk PLTS, di Indonesia cukup besar. Pasalnya, PT PLN (Persero) sebagai BUMN penyedia kelistrikan di Tanah Air juga mendorong pemanfaatan PLTS dan memiliki program mengonversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi PLTS.

Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN M. Ikhsan Asaad mengatakan, konversi PLTD ke PLTS akan dilakukan secara bertahap, dimulai dari 200 lokasi terlebih dahulu, di lokasi yang terisolasi.

Kapasitas PLTD yang akan dikonversi ke PLTS menurutnya sekitar 225 mega watt (MW), baik lewat skema pembangunan dari PLNĀ atau Engineering, Procurement, and Construction (EPC) atau dilakukan pihak swasta (Independent Power Producer/ IPP).

Untuk menunjang keandalan operasional PLTS, maka menurutnya dibutuhkan baterai. Tak tanggung-tanggung, menurutnya untuk program konversi ini membutuhkan minimal 1,8 giga Watt hour (GWh) baterai.

"Di mana pilihan teknologi yang akan digunakan adalah PLTS dan baterai. Potensi awal diperlukan 600 MWp PV (panel surya), dan kurang lebih 1,8 giga Watt hours (GWh) battery storage," ungkapnya dalam FGD Teknologi PLTS Dan Baterai, Senin (10/05/2021).

PLTS, imbuhnya, adalah salah satu jenis EBT yang memiliki sifat intermitten atau berjeda, dan tidak bisa beroperasi terus-menerus. Oleh karena itu, menurutnya diperlukan sistem penyimpanan energi atau baterai yang dikenal dengan istilah energy storage system (ESS). Melalui program ini, diharapkan PLTS bisa beroperasi selama 24 jam.

"Kita melihat bagaimana teknologi baterai sebagai penyimpanan energi memiliki peran penting dalam penyaluran tenaga listrik," tegasnya.

Dia mengatakan, saat ini bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dari kelistrikan baru mencapai 13,72%, yang artinya ada peluang meningkatkan penetrasi EBT di tahun-tahun mendatang.

"Dibutuhkan kerja sama dan dukungan berbagai pihak, baik regulator, investor, maupun stakeholder dalam proses eksekusi, mendorong iklim investasi, sehingga demand listrik yang kita harapkan akan tumbuh terus," paparnya.

Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN akan mengurangi operasional pembangkit berbahan bakar minyak (BBM). Selain kebutuhan minyak masih lebih banyak dipenuhi dengan impor, pemanfaatan BBM untuk pembangkit juga kurang ramah lingkungan.

Sebanyak 5.200 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di 2.130 lokasi terpencil akan dikonversi ke pembangkit EBT.

"Ada 5.200 unit PLTD di 2.130 lokasi dengan kapasitas sekitar 2 giga watt (GW) yang akan dikonversi," paparnya dalam 'Kompas Talks bersama IESR' melalui kanal YouTube, Selasa (02/03/2021).

Dia mengatakan, pada 2019 penggunaan BBM untuk pembangkit listrik di daerah terpencil mencapai Rp 13 triliun. Maka dari itu, PLN ingin mengganti BBM yang lebih mahal dan diimpor tersebut dengan energi yang lebih murah.

"Inilah, kita ingin mengubah energi BBM mahal diimpor dengan energi yang lebih murah," tegasnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Cara PLN Tekan Ongkos Bahan Bakar Biar Nggak 'Boncos'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular