Dilema PLTSa, Bikin Sampah Berkurang, Tapi Investasi Mahal

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) digadang-gadang bisa mendorong target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dan juga jalan keluar dari permasalahan sampah di kota-kota besar di Indonesia. Namun ternyata, dalam membangun PLTSa dibutuhkan investasi yang super besar.
Hal tersebut disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).
Upaya pemerintah mendorong PLTSa tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Perpres ini mengamanatkan percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan (PLTSa) yang menjadi urusan pemerintah daerah di 12 daerah, yakni Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
Adapun sumber pendanaan untuk membangun PLTSa ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan dapat didukung oleh APBN dan atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 15 disebutkan bahwa pendanaan yang bersumber dari APBN digunakan untuk bantuan biaya layanan pengolahan sampah kepada Pemerintah Daerah. Besarnya biaya layanan pengolahan sampah ini paling tinggi Rp 500 ribu per ton sampah.
"Diberikan tugas untuk pengembangan waste to energy (sampah jadi listrik) di 12 kota dan pemerintah berikan dukungan finansial berupa dana untuk pengelolaan sampah maksimum Rp 500 ribu per ton," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (10/05/2021).
Listrik yang dihasilkan dari PLTSa di 12 kota itu pun tidak begitu besar, yakni total hanya 234 mega watt (MW) dan hanya akan menyerap sampah sebesar 5,8 juta ton per tahunnya.
"Ini sebenarnya masih 8,8%-9% dari total produksi sampah di seluruh Indonesia, berdasarkan data KLHK ada 67 juta ton sampah per tahun di negara ini, ini berarti pemanfaatannya untuk menjadi listrik masih kurang dari 10%," jelasnya.
Sementara dari sisi harga listrik PLTSa ini masih cukup mahal yakni 13,35 sen dolar per kWh untuk kapasitas di bawah 20 MW dan jika kapasitas PLTS di atas 20 MW maka kesepakatan harganya sekitar 11,8 sen dolar per kWh.
Bagi PLN yang memiliki alternatif listrik dari sumber energi lainnya yang lebih murah, maka harga beli listrik dari PLTSa ini masih tergolong tinggi.
"Kalau kita lihat investasinya sangat besar, PLTSa Benowo yang 10 MW ini investasinya US$ 50 juta, sementara di Jakarta untuk 38 MW investasinya US$ 324 juta. Memang investasi per kWh ini sangat mahal," tegasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, untuk beberapa kota yang lokasinya dekat Jakarta, seperti Tangerang Selatan investasinya sekitar US$ 6.000 per kWh, Bandung US$ 8.500 per kWh.
"Ini gambaran bahwa kalau penanganan sampah, investasinya sangat mahal. Ini jadi penting dalam konteks membahas isu yang disorot KPK karena investasinya sangat mahal," ujarnya.
[Gambas:Video CNBC]
Dukung EBT, PLN Siap Jadi Pembeli Listrik Hasil Olahan Sampah
(wia)