RI Hasilkan 67 Juta Ton Sampah per Tahun, Apa Nih Solusinya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia punya pekerjaan rumah menangani sampah, karena per tahunnya menghasilkan sampah hingga 67 juta ton. Pemerintah pun menawarkan solusi dengan mengubah sampah menjadi energi, yakni melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Tapi sayangnya, melalui proyek ini, sampah yang diolah diperkirakan masih rendah, yakni di bawah 10%, yakni sekitar 5,8 juta ton per tahun. Di sisi lain, investasi pembangunan PLTSa dinilai masih mahal.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan timbunan sampah yang tidak bisa dikendalikan terjadi di kota-kota besar, seperti terjadi di Jakarta sebanyak 7.000 ton per hari, Surabaya 1.600 ton per hari.
"Pemerintah ada target mengurangi masalah sampah pada tahun 2025, perlu dipikirkan langkah-langkahnya. Sejak dulu sudah sering atasi sampah 3R (Reduce-Reuse-Recycle) dari hulunya," tuturnya saat wawancara dengan CNBC Indonesia, Senin (10/05/2021).
Parahnya lagi, lanjutnya, banyak kota yang sudah tidak bisa menampung sampah lagi, sehingga sampah ada di mana-mana, termasuk sungai sampai laut. Hal ini tentunya akan berdampak buruk bagi lingkungan.
Proyek PLTSa yang digadang-gadang bisa menjadi solusinya, namun nyatanya masih menemui kendala karena dianggap pemborosan. Hal ini dikarenakan investasi untuk membangun PLTSa ini dinilai sangat mahal.
Dia memaparkan, biaya investasi untuk PLTSa Benowo, Surabaya yang berkapasitas 10 MW mencapai US$ 50 juta, lalu di Jakarta dengan kapasitas 38 MW mencapai US$ 324 juta. Sementara di beberapa kota dekat Jakarta, seperti Tangerang Selatan investasi yang dibutuhkan sekitar US$ 6.000 per kWh dan Bandung sekitar US$ 8.500 per kWh.
"Menangani sampah ongkosnya sangat besar, baik ongkos yang dikeluarkan pemerintah, kumpulkan sampah, ambil dari rumah bawa ke tempat penampungan sampai pembuangan... Investasi PLTSa per kWh ini juga masih sangat mahal," jelasnya.
Ditambah dengan pengelolaan sampah, dalam konteks sesuai standar sanitasi lingkungan juga mahal, untuk 1 ton sampah saja menurutnya bisa mencapai US$ 70-80 dolar.
"Selama ini Pemda nggak ada dana cukup, kecuali kota besar seperti Surabaya dan Jakarta. Tidak semua Pemda punya kemampuan fiskal. Perpres Nomor 35 Tahun 2018 coba selesaikan dengan berikan insentif," paparnya.
Peraturan Presiden No.35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan ini mengamanatkan percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan (PLTSa) yang menjadi urusan pemerintah daerah di 12 daerah, yakni Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
Adapun sumber pendanaan untuk membangun PLTSa ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan dapat didukung oleh APBN dan atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 15 disebutkan bahwa pendanaan yang bersumber dari APBN digunakan untuk bantuan biaya layanan pengolahan sampah kepada Pemerintah Daerah. Besarnya biaya layanan pengolahan sampah ini paling tinggi Rp 500 ribu per ton sampah.
PLTSa ini dianggap menjadi solusi pengolahan sampah listrik, di mana PLN akan menjadi pembeli listriknya. Namun sayang, harga listrik yang dijual ke PLN ini termasuk tinggi, yakni mencapai 13,35 sen dolar per kWh, di mana harga ini lebih tinggi dari rata-rata pembangkit PLN 9-10 sen dolar per kWh.
"Sementara harus beli 13,35 sen dolar per kWh, ini juga jadi perhatian dari KPK, PLN beli dengan harga mahal. Ini berpotensi rugikan PLN," tuturnya.
[Gambas:Video CNBC]
Dukung EBT, PLN Siap Jadi Pembeli Listrik Hasil Olahan Sampah
(wia)