
RI Kok Masih Andalkan Impor Daging Sih?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sudah kedatangan daging sapi beku impor asal Brasil sebanyak 140 ton dari total 420 ton melalui pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapat penugasan ini adalah PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) bersama PT Berdikari (Persero).
Direktur Utama PT RNI (Persero) Arief Prasetyo Adi menilai impor daging ini untuk menjaga stabilitas harga menjelang Lebaran. Selain itu, ada juga tujuan lainnya.
"Ini kesempatan untuk melihat kualitas komoditas sapi asal Brasil untuk kami kaji produknya sebagai bagian dari transformasi pangan dan tentu penekanan impor ke depannya," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (5/5/21).
Namun, persoalan bukan hanya berhenti di situ. Perlu ada aspek lain yang juga menjadi perhatian, utamanya pada kondisi kesehatan daging sapi impor Brasil. Harus ada seleksi ketat serta dilengkapi sertifikat bebas penyakit mulut dan kuku dan juga harus lolos Badan Karantina.
"Mengenai jaminan ini terdapathealth certificatebahwa daging tersebut aman untuk konsumsi manusia. Importasi ini merupakan penugasan langsung dari pemerintah, jadi sebelum ditugaskan sudah melalui survey dan izin dari pemerintah," kata Dhila.
Daging Brasil sempat terhambat UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebelum direvisi. Negara itu belum bebas dari penyakit sapi seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), atau masih kategorizone based. Sedangkan negara pemasok sapi dan daging utama Indonesia selama ini Australia dan Selandia Baru sudah bebas dari PMK ataucountry based.
Tradisi impor daging seakan tiada henti berjalan dari tahun ke tahun. Penyebabnya karena kebutuhan bulan Ramadhan di waktu normal yang mencapai 15 ribu - 20 ribu ton per bulan, khususnya untuk kawasan Jabodetabek dan Bandung Raya.
"Aspidi (Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia) cover kebutuhan 10 ribu ton atau 50% dari stok. Tahun lalu pegang 7.500 ton, tapi yang terserap nggak sampai 5 ribu ton, hanya sekitar 4 ribuan ton. Drop 60% tahun lalu," kata Sekretaris Jenderal Aspidi Suhandri.
Perkiraan tahun ini memang ada peningkatan permintaan, namun belum sebaik tahun-tahun sebelumnya atau sebelum memasuki pandemi Covid-19. Tahun ini penyerapan sekitar 6 ribu ton atau paling tinggi 7 ribu ton. Jadi jika dibandingkan tahun lalu, peningkatannya 30%-40%.
Demi memenuhi kebutuhan tersebut, Suhandri mengatakan pengusaha yang tergabung dalam Aspidi sudah memiliki stok sekitar 6.700 ton, sehingga diyakini masih bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka tidak mengambil dari Brasil maupun India, seperti yang BUMN lakukan, melainkan negara lainnya.
"Dari Amerika Serikat, Spanyol, Australia, Selandia Baru. Mayoritas Australia sekitar 60%, kemudian Spanyol 15%," jelas Suhandri.
Sulitnya mendapatkan sapi dari Australia sempat Menteri Perdagangan M. Lutfi lontarkan beberapa waktu lalu. Penyebabnya karena kebakaran hutan yang menyebabkan harga lebih mahal. Sebagai gantinya, Indonesia yang secara tradisi rutin mengimpor sapi dari Australia harus mengalihkan fokus ke banyak negara lainnya.
Namun, sapi impor Australia tetap menjadi pilihan utama. Namun, Suhandri memberi catatan bahwa kualitas sapi dari tiap wilayah di Australia juga berbeda.
"Berdasarkan pengalaman teman-teman, impor dari southern Australia lebih bagus dari northern, meski harganya lebih mahal. Indonesia terbiasa impor dari southern. Yang disebut Pak Menteri kebakaran kemudian banjir daerah southern, jadi makanya harga lebih mahal," papar Suhandri.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Daging Impor India 'Guyur' RI, Harga Daging Sapi Turun Nih?