Pak Jokowi, Kapan Perpres Tarif EBT Diteken? Investor Nunggu

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
04 May 2021 11:30
Foto: "PLN gandeng PGE garap PLTP ulubelu lampung dan pltp lahendong sulawesi utara". Doc PLN.

Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengembang panas bumi kini tengah menantikan ditetapkannya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tarif pembelian tenaga listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT), termasuk tarif listrik panas bumi, oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Perubahan aturan tarif listrik panas bumi dinantikan agar harga listrik di sektor panas bumi bisa memenuhi keekonomian proyek pengembang, sehingga pengembang pun mau mengembangkan proyek ini. Seperti diketahui, panas bumi merupakan "harta karun" energi RI. Potensi sumber dayanya merupakan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Sumber daya panas bumi RI mencapai 23.965,5 mega watt (MW), di bawah Amerika Serikat yang memiliki sumber daya sebesar 30.000 MW. Namun sayangnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih minim, yakni baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9% dari total sumber daya yang ada.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan berdasarkan regulasi yang ada saat ini, harga keekonomian panas bumi belum terpenuhi, meski pemerintah sudah beberapa kali mengeluarkan aturan terkait tarif panas bumi seperti di 2014 dan kemudian 2017.

Namun menurutnya, aturan tarif pada 2014 lebih memenuhi standar keekonomian daripada aturan baru yang dikeluarkan berupa Peraturan Menteri (Permen) No. 50 tahun 2017. Akibatnya, pemanfaatan panas bumi tidak berkembang.

"Maka dari itu, stakeholder usulkan ada revisi pada regulasi harga listrik EBT, termasuk panas bumi. Itu sudah setahun lebih dibahas dan didiskusikan. Itu harapan kita, Perpres harga EBT, khususnya panas bumi bisa segera dikeluarkan," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (03/05/2021).

Dia mengatakan, asosiasi pun telah membahas beberapa isu keekonomian proyek panas bumi, baik dari sisi teknologi, ketersediaan infrastruktur, hingga kapasitas pembangkit.

Menurutnya, pihaknya juga sudah mengusulkan besaran tarif panas bumi yang sesuai dengan keekonomian proyek. Namun pemerintah tak lantas mengabulkannya.

"Kami sudah sampaikan usulan angka (tarif) kepada pemerintah, tapi pemerintah punya pertimbangan berbagai hal agar keekonomian tidak hanya pengembalian investasi, tapi juga daya beli masyarakat," jelasnya.

Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa besaran tarif yang diusulkan masih terus dibahas bersama, termasuk dengan PT PLN (Persero) selaku pembeli listrik panas bumi, sehingga nantinya diharapkan dapat memperoleh harga yang adil bagi kedua belah pihak, yakni pihak pengembang dan PLN.

"Studi World Bank sudah menetapkan harga yang cukup bagus dari sisi keekonomian, harga tidak hanya ditentukan saat mulai pengembangan, tapi kapan memulai beroperasi atau COD (commercial operation date) terjadi. Kalau operasi komersial empat tahun lagi, ditetapkan (harga) untuk empat tahun lagi. Pengembangan panas bumi butuh waktu panjang," tuturnya.

Pihaknya pun berharap Kementerian ESDM selaku kementerian teknis bisa mengusulkan besaran tarif yang terbaik dan adil bagi semua pihak.

"Saya kira dari Kementerian ESDM bisa menyampaikan mana yang terbaik," ujarnya.

Dia melanjutkan, komponen pembentuk harga di antaranya berasal dari komponen investasi dari mana asal pendanaan, lalu bagaimana pajak ditetapkan oleh pemerintah. Sampai saat ini, menurutnya pajak yang ditetapkan masih sangat umum.

"Di beberapa negara sudah tetapkan pajak khusus untuk EBT dan ini nggak berlaku di Indonesia, ini akan berdampak keekonomian panas bumi," ujarnya.

Surya menyebutkan bahwa pengembangan panas bumi membutuhkan waktu yang panjang, sehingga kepastian dari sisi regulasi sangat dibutuhkan. Sementara regulasi di negara ini sering berubah, termasuk terkait aturan harga panas bumi, sehingga tidak menimbulkan kepastian bagi calon investor.

"Kepastian usaha pengembangan panas bumi 6-7 tahun baru operasi komersial, waktu 1-7 tahun bisa ada kejadian, kepastian ini yang kita minta ke pemerintah. Selama ini ditetapkan di UU Panas Bumi, begitu masuk ke regulasi, implementasi nggak ada kepastian hukum juga," paparnya.

"Aturan Presiden ini harapan supaya ada kepastian dari sisi regulasi, aturan Presiden mestinya nggak mudah diubah," lanjutnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Punya Harta Karun Energi Terbesar ke-2 Dunia, Tapi RI Abaikan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular