
Kalah Saing, Tarif Panas Bumi Lebih Mahal dari PLTA dkk

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dikaruniai "harta karun" energi baru terbarukan (EBT) panas bumi terbesar kedua di dunia. Namun pemanfaatannya belum maksimal karena tarif panas bumi masih lebih mahal daripada jenis EBT lainnya.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Harris, mengatakan bahwa rata-rata harga listrik panas bumi di kontrak baru kini di atas 10 sen dolar per kilo Watt hour (kWh), bahkan sampai 12 sen - 13 sen dolar per kWh.
Sementara tarif EBT lainnya menurutnya rata-rata masih berada di bawah 10 sen dolar per kWh. Misalnya, harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar 6 sen - 7 sen dolar per kWh, biomassa 7 sen - 8 sen dolar per kWh.
Sebagai pembeli tunggal listrik dari pengembang, maka PT PLN (Persero) akan memilih dan memprioritaskan energi dengan harga yang lebih murah terlebih dahulu.
"Tarif panas bumi saat ini, kalau dibandingkan dengan jenis EBT lain, masih agak mahal karena saat ini rata-rata kontrak baru panas bumi masih di atas 10 sen dolar (per kWh), misalnya di 12 sen - 13 sen dolar," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (03/05/2021).
Untuk membuat tarif listrik panas bumi ini menjadi lebih kompetitif, maka menurutnya pemerintah akan turut berkontribusi dalam mengurangi biaya proyek panas bumi pengembang melalui ikut melakukan pengeboran eksplorasi sumur panas bumi.
Hingga 2024, pemerintah akan ikut mengebor eksplorasi di 22 wilayah kerja panas bumi.
Dia menjelaskan, turut andilnya pemerintah dalam melakukan pengeboran eksplorasi panas bumi ini guna mengurangi risiko pengembang. Pasalnya, tahap eksplorasi atau sebelum produksi, menyumbang risiko hingga 50%. Risiko ini dimasukkan ke dalam komponen biaya panas bumi, sehingga tak ayal berdampak pada tingginya tarif panas bumi.
Jika pemerintah ikut mengebor sumur eksplorasi panas bumi, maka menurutnya setidaknya 50% risiko pengembang akan berkurang.
"Diharapkan saat pelaksanaannya, pemerintah ngebor eksplorasi dan ada hasilnya, setidaknya 50% risiko berkurang," ujarnya.
Tak hanya bisa bersaing dengan jenis EBT lainnya, pengurangan biaya ini diharapkan juga bisa bersaing dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik di Jawa yang mencapai 7 sen dolar per kWh.
"Setelah dilakukan (pengeboran eksplorasi oleh pemerintah), risiko panas bumi bisa turun dan harganya bisa di bawah 7 sen dolar per kwh," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif tax allowance dan tax holiday kepada pengembang panas bumi. Tak hanya insentif, pemerintah pun kini tengah menyusun skema baru untuk tarif listrik panas bumi yang nantinya akan diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres).
Tak hanya aturan terkait tarif panas bumi, rancangan Perpres ini juga akan mengatur tentang tarif EBT lainnya seperti tenaga air, angin, solar (surya), dan biomassa.
"Sekarang proses di Setneg. Perpres ini tunggu paraf kementerian terkait yang punya kewenangan di dalamnya, Kemenkeu, Kemenko Maritim dan Investasi, Kementerian Perindustrian dan lainnya," paparnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia yakni mencapai 23.965,5 mega watt (MW), di bawah Amerika Serikat yang memiliki sumber daya sebesar 30.000 MW.
Namun sayangnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih minim, yakni baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9% dari total sumber daya yang ada. Kapasitas terpasang PLTP masih lebih rendah dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang telah mencapai 6.121 MW pada 2020.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Punya Harta Karun Energi Terbesar ke-2 Dunia, Tapi RI Abaikan
