
ADB Punya Ramalan Bagus untuk Asia, Kalau RI Gimana?

Setelah terkontraksi 2,1% tahun lalu, ADB meramal pertumbuhan ekonomi RI tahun ini di angka 4,5%. Masih berada di kisaran ramalan Bank Indonesia 4,1% - 5,1% di tahun 2021.
Bukan angka yang jelek tetapi juga bukan angka yang bagus. Dengan laju tersebut pertumbuhan ekonomi RI belum bisa dibilang pulih sepenuhnya ke laju pertumbuhan 2015-2019 di angka 5% per tahun.
Kunci utama meningkatkan perekonomian adalah dengan memerangi wabah, meningkatkan optimisme konsumen dan pebisnis. Menjinakkan Covid-19 bukan perkara mudah.
Di RI, jumlah orang yang sudah mendapatkan satu kali suntikan vaksinasi mencapai lebih dari 12 juta. Sementara mereka yang sudah mendapatkan dosis penuh atau dua kali suntikan mencapai 7,2 juta orang. Masih sangat jauh dari target yang ditetapkan pemerintah.
Meskipun data menunjukkan angka kasus infeksi harian mengalami tren menurun, tetapi munculnya varian virus Corona dari negara lain yang dinilai lebih menular menjadi risiko besar bagi pemulihan ekonomi.
Masuknya mutan yang lebih menular jelas harus segera ditangani dengan surveilans ketat. Jangan sampai kasus seperti di India terjadi di Tanah Air. Jangan sampai momentum kenaikan harga komoditas yang seharusnya mengerek perekonomian RI menjadi terhambat gara-gara gelombang lanjutan wabah Covid-19.
Dari sisi fiskal, pemerintah telah memetakan ada 14 risiko berdasarkan dampak dan kemungkinan terjadinya (likelihood). Risiko pemulihan ekonomi dan risiko utang menjadi dua risiko dengan dampak dan likelihood terbesar.
Sumber risiko dari penanganan Covid-19 berasal dari tiga sisi. Pertama, seberapa panjang waktu penurunan atau pelandaian kurva kasus positif Covid-19. Kedua, efektivitas program pemulihan ekonomi nasional dan program lainnya dalam rangka menurunkan dampak atau mengurangi angka positif Covid-19.
Ketiga, stabilitas sistem keuangan yang berujung pada pertumbuhan/kinerja perekonomian yang sesuai harapan. Dengan melihat kondisi pada tahun 2020, maka beban fiskal atas dampak pandemi Covid-19 berada pada posisi tinggi dengan likelihood sangat mungkin.
Kemudian terkait utang, dalam kondisi sulit seperti sekarang penerimaan pajak tentunya akan berkurang (short fall). Namun belanja negara membengkak karena harus menebar jala pengaman social. Akibatnya defisit melebar, utang pun bertambah.
Kemudian dari sisi moneter, BI sudah mengeluarkan amunisinya juga. Suku bunga acuan sudah dipangkas 150 basis poin. Injeksi likuiditas sudah dilakukan ke sistem perbankan lewat penurunan GWM. BI juga sudah turut membantu pemerintah lewat burden sharing.
Bahkan sampai kebijakan makroprudensial berupa pelonggaran LTV (Loan to Value) untuk kredit pembiayaan properti dan perumahan juga sudah dilakukan. Sekarang saatnya memastikan bahwa transmisi kebijakan moneter berjalan sebagaimana mestinya yang tercermin dari penurunan suku bunga kredit.
Suku bunga kredit masih belum turun banyak. Di sisi lain kredit diramal hanya tumbuh 6% tahun ini. Sementara para pelaku usaha juga masih pikir-pikir kalau mau ekspansi. Kalau begini rasanya kok sulit mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 7%.
PR beratnya sudah keliatan. Bagaimana meningkatkan kepercayaan dan optimisme konsumen untuk berbelanja, korporasi untuk ekspansi dan perbankan untuk menyalurkan kreditnya agar roda perekonomian muter.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)[Gambas:Video CNBC]