ADB Punya Ramalan Bagus untuk Asia, Kalau RI Gimana?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
29 April 2021 15:48
adb
Foto: REUTERS/Cheryl Ravelo

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 menjadi titik balik yang penuh dengan optimisme. Tak ada satu pun lembaga keuangan, institusi pemerintahan hingga think tank yang tak mengatakan ekonomi akan bersemi di tahun ini. Asian Development Bank (ADB) menjadi salah satu bagian yang optimis. 

Ekonomi Benua Kuning dinilai lebih tahan dalam menghadapi pandemi abad ini yang diakibatkan oleh Covid-19. Meskipun jatuh juga ke jurang resesi, ekonomi Asia masih lebih baik dari benua lainnya. 

Dalam laporan terbarunya yang bertajuk Asian Development Outlook (ADO) 2021, lembaga keuangan regional tersebut mengajak untuk sedikit napak tilas pada kondisi tahun 2020. 

Output perekonomian di kawasan Asia Berkembang sampai menyusut 0,2% tahun lalu. Resesi global dan penurunan investasi serta konsumsi adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari akibat penguncian aktivitas ekonomi (lockdown). Negara yang perekonomiannya bergantung pada jasa terutama pariwisata jelas hancur lebur.

Filipina misalnya, produk domestik bruto (PDB) negeri Duterte mengalami kontraksi 9,6%. Thailand yang mengandalkan pariwisata juga ekonominya anjlok 6,1%. Indonesia masih mending, sepanjang tahun fiskal 2020 output hanya terkontraksi 2%. 

Larangan bepergian dan instruksi untuk stay di rumah saja membuat para pelancong mengurungkan niatnya untuk bertamasya. Riset UNWTO, sebuah organisasi pariwisata internasional di bawah PBB menyebutkan bahwa sepanjang paruh pertama 2020 kedatangan turis internasional turun 65%. 

Meskipun pariwisata tumbang, tetapi uniknya remitansi masih bisa dibilang lebih solid dari yang diperkirakan. Dalam catatan ADB, remitansi di kawasan Asia Berkembang secara rata-rata meningkat 0,7% pada tiga kuartal tahun 2020 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. 

Peningkatan tersebut ditopang oleh kenaikan remitansi sebesar 15% dari India dan Bangladesh. Namun di kawasan Asia remitansi tetap anjlok terutama di kawasan Asia Tengah di mana kontribusi remitansi terhadap PDB tergolong besar. 

Di sepanjang tahun lalu, inflasi di kawasan Asia Berkembang hanya melambat dan bukan turun. Perlambatannya pun tipis. Jika pada 2019 inflasi tercatat mencapai 2,9% maka tahun lalu turun 0,1 poin persentase menjadi 2,8%. 

Penurunan daya beli masyarakat akibat jatuhnya pendapatan karena sektor usaha terdampak yang membuat tingkat pengangguran naik mendorong pemerintah dan bank sentral untuk semakin mesra menghadapi tantangan bersama. 

Pemerintah lewat jurus fiskalnya tebar stimulus mulai dari relaksasi pajak hingga bantuan langsung tunai (BLT) sementara bank sentral turunkan suku bunga dan injeksi likuiditas ke sistem keuangan lewat perbankan.

Bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah bank-bank sentral di negara berkembang ikut masuk membantu menambal defisit anggaran pemerintah dengan membeli obligasi di pasar perdana baik lewat mekanisme pasar maupun private placement. Setidaknya inilah yang juga dilakukan di Tanah Air. 

Kebijakan makro yang akomodatif membuat kondisi keuangan berangsur membaik terutama di paruh kedua tahun 2020.

Pasar saham Asia reli, yield obligasi menurun, dolar AS yang semakin tertekan di tengah likuiditas global yang berlimpah juga membuat inflow modal asing masuk ke negara-negara Asia sehingga membuat mata uangnya menguat. 

Tahun ini ADB melihat ekonomi di kawasan Asia Berkembang bakal tumbuh 7,3%. Kawasan Asia Tengah diperkirakan tumbuh 3,4%. Asia Timur mengalami ekspansi hingga 7,4%. Asia Selatan tumbuh 9,5%. Asia Tenggara naik 4,4%. Pasifik tumbuh 1,4%.

Secara makro inflasi di kawasan Asia Berkembang juga dinilai ADB akan tetap jinak di angka 2,3%. Sementara itu geliat aktivitas ekonomi akan meningkatkan ekspor yang berujung pada penurunan surplus transaksi berjalan.

Tahun 2021 surplus transaksi berjalan diperkirakan mencapai 2,1% dari PDB. Lebih rendah dari 2020 yang mencapai 2,4% PDB. Walaupun outlook tampak optimistis, tetapi ADB juga menyebut mengenai risiko ke bawah alias downside risk

Pandemi Covid-19 yang tak kunjung menemui ujung masih jadi risiko terbesar bagi perekonomian. Kecepatan virus bermutasi, kecepatan vaksin disuntikkan ke populasi yang luas dan merata menjadi tantangan untuk meramu kebijakan yang efektif. 

Setelah terkontraksi 2,1% tahun lalu, ADB meramal pertumbuhan ekonomi RI tahun ini di angka 4,5%. Masih berada di kisaran ramalan Bank Indonesia 4,1% - 5,1% di tahun 2021. 

Bukan angka yang jelek tetapi juga bukan angka yang bagus. Dengan laju tersebut pertumbuhan ekonomi RI belum bisa dibilang pulih sepenuhnya ke laju pertumbuhan 2015-2019 di angka 5% per tahun. 

Kunci utama meningkatkan perekonomian adalah dengan memerangi wabah, meningkatkan optimisme konsumen dan pebisnis. Menjinakkan Covid-19 bukan perkara mudah. 

Di RI, jumlah orang yang sudah mendapatkan satu kali suntikan vaksinasi mencapai lebih dari 12 juta. Sementara mereka yang sudah mendapatkan dosis penuh atau dua kali suntikan mencapai 7,2 juta orang. Masih sangat jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. 

Meskipun data menunjukkan angka kasus infeksi harian mengalami tren menurun, tetapi munculnya varian virus Corona dari negara lain yang dinilai lebih menular menjadi risiko besar bagi pemulihan ekonomi. 

Masuknya mutan yang lebih menular jelas harus segera ditangani dengan surveilans ketat. Jangan sampai kasus seperti di India terjadi di Tanah Air. Jangan sampai momentum kenaikan harga komoditas yang seharusnya mengerek perekonomian RI menjadi terhambat gara-gara gelombang lanjutan wabah Covid-19. 

Dari sisi fiskal, pemerintah telah memetakan ada 14 risiko berdasarkan dampak dan kemungkinan terjadinya (likelihood). Risiko pemulihan ekonomi dan risiko utang menjadi dua risiko dengan dampak dan likelihood terbesar. 

Sumber risiko dari penanganan Covid-19 berasal dari tiga sisi. Pertama, seberapa panjang waktu penurunan atau pelandaian kurva kasus positif Covid-19.  Kedua, efektivitas program pemulihan ekonomi nasional dan program lainnya dalam rangka menurunkan dampak atau mengurangi angka positif Covid-19.

Ketiga, stabilitas sistem keuangan yang berujung pada pertumbuhan/kinerja perekonomian yang sesuai harapan. Dengan melihat kondisi pada tahun 2020, maka beban fiskal atas dampak pandemi Covid-19 berada pada posisi tinggi dengan likelihood sangat mungkin.

Kemudian terkait utang, dalam kondisi sulit seperti sekarang penerimaan pajak tentunya akan berkurang (short fall). Namun belanja negara membengkak karena harus menebar jala pengaman social. Akibatnya defisit melebar, utang pun bertambah. 

Kemudian dari sisi moneter, BI sudah mengeluarkan amunisinya juga. Suku bunga acuan sudah dipangkas 150 basis poin. Injeksi likuiditas sudah dilakukan ke sistem perbankan lewat penurunan GWM. BI juga sudah turut membantu pemerintah lewat burden sharing. 

Bahkan sampai kebijakan makroprudensial berupa pelonggaran LTV (Loan to Value) untuk kredit pembiayaan properti dan perumahan juga sudah dilakukan. Sekarang saatnya memastikan bahwa transmisi kebijakan moneter berjalan sebagaimana mestinya yang tercermin dari penurunan suku bunga kredit. 

Suku bunga kredit masih belum turun banyak. Di sisi lain kredit diramal hanya tumbuh 6% tahun ini. Sementara para pelaku usaha juga masih pikir-pikir kalau mau ekspansi. Kalau begini rasanya kok sulit mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 7%. 

PR beratnya sudah keliatan. Bagaimana meningkatkan kepercayaan dan optimisme konsumen untuk berbelanja, korporasi untuk ekspansi dan perbankan untuk menyalurkan kreditnya agar roda perekonomian muter. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article ADB Turunkan Proyeksi Ekonomi Indonesia! Jadi Berapa Nih?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular