Pemerintah Tawarkan Ini Agar Harta Karun Energi RI Tergarap

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
28 April 2021 16:38
Foto: "PLN gandeng PGE garap PLTP ulubelu lampung dan pltp lahendong sulawesi utara". Doc PLN.

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) kompak mengungkapkan tarif listrik panas bumi menjadi penyebab belum tergarapnya potensi energi panas bumi di Tanah Air.

Padahal, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sebesar 23.965,5 mega watt (MW), di bawah Amerika Serikat (AS) yang memiliki sumber daya sebesar 30.000 MW.

Tapi sayangnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih belum optimal, yakni baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9% dari total sumber daya yang ada.

Menanggapi isu tersebut, pemerintah pun tak tinggal diam. Pemerintah kini sedang merancang peraturan terkait harga listrik energi baru terbarukan, termasuk tarif listrik panas bumi, guna memperbaiki isu tarif yang telah diatur saat ini.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, peraturan terkait harga listrik EBT, termasuk tarif listrik panas bumi, ini berupa Peraturan Presiden (Perpres).

Saat ini menurutnya Rancangan Perpres tersebut masih di Kementerian Keuangan untuk dikaji ulang.

"Perpres EBT masih di Kementerian Keuangan, masih di-review," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (28/04/2021).

Dia mengakui beberapa wilayah kerja panas bumi (WKP) saat ini terkendala karena aspek keekonomian. Untuk itu, strategi lainnya yang akan didorong yaitu mengembangkan panas bumi pada area yang sudah beroperasi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) skala kecil (small scale) dan sistem biner (binary system), sehingga tidak memerlukan pembangunan infrastruktur baru.

"Pada akhirnya, keekonomiannya menjadi lebih baik, tarifnya akan lebih kompetitif," ujarnya.

Meski kini DPR dan pemerintah juga tengah membahas Rancangan Undang-Undang EBT (RUU EBT), namun menurutnya Rancangan Pepres tarif EBT tidak harus menunggu RUU EBT tuntas.

Lantas, apa saja poin-poin penting terkait tarif listrik panas bumi yang akan diatur dalam Rancangan Perpres ini?

Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris memaparkan, tarif listrik panas bumi yang akan diatur di Perpres ini berupa harga patokan tertinggi (ceiling price) dengan dibagi ke dalam dua tahap, yakni 10 tahun pertama harga listrik akan mempertimbangkan faktor lokasi, dan pada tahap kedua setelah 10 tahun pertama sejak beroperasi, tarif listrik akan turun.

"Harga geothermal menggunakan ceiling price, harga dibagi dua tahap. 10 tahun pertama mempertimbangkan faktor lokasi," jelasnya dengan menambahkan setelah 10 tahun pertama itu tarif listriknya akan turun.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, harga patokan tertinggi pada tahap pertama atau 10 tahun pertama PLTP ini berlaku untuk semua kapasitas dengan mempertimbangkan faktor lokasi.

Faktor lokasi maksudnya mempertimbangkan tingkat kesulitan implementasi proyek berdasarkan wilayah.

Selain itu, ketentuan harga pembelian tenaga listrik akan dievaluasi paling lama tiga tahun.

Adapun untuk pelaksanaan pembelian tenaga listrik, akan ada penunjukan langsung untuk ekspansi PLTP maupun kelebihan pasokan (excess power). Selain itu, penunjukan langsung berupa penugasan juga diterapkan pada pembelian tenaga listrik dari PLTP.

Adapun periode kontrak jual beli listrik bisa mencapai hingga 30 tahun dan transaksi dilakukan dalam rupiah dengan nilai tukar JISDOR.

Sementara di RUU EBT menurutnya hanya akan mengatur kaidah umum pengembangan EBT, tidak spesifik terkait harga listrik EBT, termasuk panas bumi.

"Harga listrik panas bumi diatur di Rancangan Perpres Harga EBT," ujarnya.

Adapun aturan terkait harga listrik panas bumi saat ini masih diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No.50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Berdasarkan regulasi tersebut, tarif listrik panas bumi yang dibeli PLN dikaitkan dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik di lokasi setempat. Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTP paling tinggi sebesar BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Bila BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali atau sistem ketenagalistrikan setempat lainnya sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, maka harga pembelian tenaga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Dengan demikian, ada ruang negosiasi antara pengembang listrik dan PLN sebagai pembeli listrik. Ruang negosiasi ini akan memakan waktu dan bisa saja berlarut-larut.

Hal tersebut diatur secara spesifik pada Pasal 11 Peraturan Menteri ESDM No.50 tahun 2017 ini, berikut bunyinya:

(1) Pembelian tenaga listrik dari PLTP oleh PT PLN (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf g, hanya dapat dilakukan kepada Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) yang memiliki wilayah kerja panas bumi sesuai dengan cadangan terbukti setelah eksplorasi.

(2) Pembelian tenaga listrik dari PLTP oleh PT PLN (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga pembelian tenaga listrik dari PLTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi sebesar BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

(4) Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali atau sistem ketenagalistrikan setempat lainnya sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga pembelian tenaga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

(5) BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat dan rata-rata BPP Pembangkitan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat dan rata-rata BPP Pembangkitan nasional pada tahun sebelumnya yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan PT PLN (Persero).

(6) Pembelian tenaga listrik dari PLTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menggunakan pola kerja sama membangun, memiliki, mengoperasikan dan
mengalihkan (Build, Own, Operate, and Transfer/BOOT).

(7) Pembangunan jaringan tenaga listrik untuk evakuasi daya dari PLTP ke titik sambung PT PLN (Persero) dapat dilakukan oleh PPL berdasarkan mekanisme yang saling menguntungkan (business to business).

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular