
Ada Drama Pasokan Listrik, Gimana Nasib Transisi Blok Rokan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kontrak Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Blok Rokan, Riau akan segera berakhir dalam hitungan bulan. Per 9 Agustus 2021 pengelolaan Blok Rokan akan beralih kepada PT Pertamina (Persero).
Akan tetapi, proses transisi masih terkendala masalah pasokan listrik. PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) sebagai pemasok listrik yang mayoritas sahamnya dimiliki Chevron Standard Limited (CSL) tidak mau begitu saja menyerahkan pembangkit ini.
Menanggapi hal tersebut, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun angkat suara.
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengatakan, ada sembilan elemen yang perlu dituntaskan dalam masa transisi ini, salah satunya adalah sektor kelistrikan.
Dari semua elemen yang ada, transisi rata-rata sudah mencapai 60%-90%. Namun demikian, dia mengakui bahwa sektor kelistrikan menjadi isu sangat penting karena menyangkut keberlanjutan produksi minyak di Blok Rokan.
"Menjadi objektif utama transisi Rokan adalah produksi, produksi tentu ditopang oleh power (listrik) dan steam (uap) karena di Rokan hampir 50% dari Duri Steam Flood," paparnya dalam konferensi pers Kinerja Hulu Migas Kuartal I 2021, Senin (26/04/2021).
Transisi di sektor kelistrikan menurutnya ada beberapa opsi, antara lain jika dalam tiga bulan terakhir ini belum terjadi alih kepemilikan dari MCTN, maka akan dilanjutkan untuk tiga tahun ke depan.
"Waktu hanya tiga bulan, kalau tiga bulan belum terjadi alih kepemilikan MCTN, kami akan lanjut tiga tahun walau ada pihak lain mau, PLN, PT A, PT B, kami lanjutkan tiga tahun untuk tetap sustain production," jelasnya.
Dia pun meminta agar skema business-to-business (B2B) yang dilakukan oleh MCTN dengan pihak yang akan berinvestasi diharapkan tidak akan menjadi masalah.
Pihaknya optimistis bahwa ini akan dipermudah dan diharapkan pada Agustus 2021 hanya tinggal penuntasan masalah administrasi.
"Tapi secara operasional kami yakin sekali operasi Duri Steam Flood dan listrik untuk angkat minyak masih jalan, ini hanya B2B administratif saja. Yang penting tiga tahun pertama disepakati, siapa pun yang akan operasikan," jelasnya.
PT PLN (Persero) sempat menuturkan bahwa perseroan butuh waktu kurang lebih tiga tahun untuk membangun transmisi dari sistem Sumatra untuk memenuhi kebutuhan listrik di Blok Rokan.
Dalam kurun waktu tiga tahun hingga transmisi listrik terbangun, artinya mau tidak mau harus menggunakan pembangkit listrik yang telah ada saat ini.
MCTN pun melelang pembangkit listrik ini dengan nilai yang dianggap tidak wajar, yakni US$ 300 juta atau setara dengan Rp 4,2 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$).
Padahal, menurut PLN, saat dibangun nilai proyek pembangkit listrik ini hanya US$ 190 juta atau setara Rp 2,66 triliun. Ditambah lagi, lanjutnya, pembangkit ini sudah beroperasi selama 20 tahun.
Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PT PLN (Persero), mengatakan pembangkit listrik berkapasitas 300 mega watt (MW) ini idealnya bernilai US$ 190 juta.
Dia mengatakan, pembangkit listrik ini dimiliki oleh CSL 95%, dan CSL menagih biaya dari pengelolaan uap dan gas yang menghasilkan listrik dan biaya ini sudah dibayar oleh CPI. CPI pun sudah dibayar negara melalui skema cost recovery, yakni skema kontrak migas dengan biaya produksi minyak dikembalikan negara.
"Cost recovery artinya apa, dibiayai negara dalam sistem cost recovery," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Kamis (15/04/2021).
Bob menyebut PLN sudah sepaham dengan SKK Migas, Kementerian ESDM, dan Pertamina bahwa ini harus dikelola PLN dan transisi harus berlangsung dengan lancar.
"Bahwa ini harus dikelola 'PLN', PLN punya kemampuan itu," tegasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jelang Kontrak Berakhir 2021, Chevron Ngebor Blok Rokan Lagi
