Transisi EBT, Benarkah Pekerja Tambang & Kilang Terancam?

Rahajeng KH, CNBC Indonesia
26 April 2021 16:40
Deputi III Kemenko Perekonomian, Montty Giriana dalam acara New Energy Conference dengan Tema
Foto: Deputi III Kemenko Perekonomian, Montty Giriana dalam acara New Energy Conference dengan Tema

Jakarta, CNBC Indonesia - Penerapan Energi baru terbarukan (EBT) menjadi solusi sumber energi yang ramah lingkungan sekaligus berkesinambungan. Pemerintah pun tengah melakukan transisi untuk meningkatkan bauran EBT pada berbagai aspek untuk mencapai pemanfaatan energi bersih dalam bauran energi primer minimal khususnya EBT sebesar 23%.

Deputi III Kemenko Perekonomian Montty Giriana mengatakan transisi ini bukan hanya soal lingkungan, melainkan perekonomian dan tenaga kerja. Apalagi Indonesia memiliki aset yang sudah terbangun baik di kilang, ataupun pertambangan yang menyerap tenaga kerja.

Untuk itu, Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) diharapkan bisa mencakup persoalan tenaga kerja, sehingga ada perencanaan terkait tenaga kerja untuk sektor-sektor yang mulai ditinggalkan.

"Early planing apa yang harus diselesaikan dan apa yang harus dilakukan di undang-undang tersebut. Sehingga ada trajectory energi dan tenaga kerja kalau UU ini dikeluarkan, sehingga nanti bisa sampai aturan turunannya," kata Monty CNBC Indonesia Energy Conference: Membedah Urgensi RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin (26/04/2021).

Dia mengungkapkan EBT bukan lagi menjadi opsi melainkan tren yang ada di dunia, sehingga Indonesia harus mengikuti kaidah green economy jika ingin eksis di pasar ekspor. Monty mencontohkan untuk ekspor ke Eropa biasanya akan diperiksa jejak karbon dari setiap produk.

"Misalnya kalau listrik tetap dari PLTU kita akan kena fee karbon footprints, jadi memang produk yang diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat harus ada label green product. Nanti 5 tahun ke depan kaya begitu, sehingga tidak bisa lagi mengembangkan energi berbasis fosil," kata Monty.

Selain itu dari sisi harga energi terbarukan pun mulai kompetitif dan ada penurunan signifikan seiring dengan terobosan baru yang dilakukan. Dengan begitu potensi untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia menurutnya akan jauh lebih terbuka ke depannya.

"Jadi bukan hanya lingkungan saja tapi juga urgensi ekonomi kalau mau bersaing dengan negara lain, kita perlu ada landasan kuat dalam bentuk UU menjadi amanat kepada siapapun di Indonesia untuk mengembangkan ini nantinya," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan untuk transisi energi baru terbarukan harus ada manajemen risikonya termasuk untuk tenaga kerja. Meski demikian menurutnya penggunaan EBT bisa menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dari setiap bauran energi yang dihasilkan.

"Untuk yang tenaga kerja, saya sepakat harus ada manajemen risikonya. Industri EBT ini menyerap tenaga kerja lebih banyak untuk setiap satuan energi yang dihasilkan," kata Dadan.

Dia menambahkan transisi EBT jangan sampai terjebak pada ekonomi biaya tinggi melainkan yang lebih kompetitif. Penggunaan energi baru terbarukan pun menurutnya bisa menghasilkan energi yang lebih baik dan kompetitif dari sisi lingkungan dan tenaga kerja.


Salah satu contoh yang bisa diterapkan adalah PLTS terapung seperti yang ada di Cirata dengan kekuatan 145 megawatt. Waduk dan danau menurutnya bisa dipakai untuk pengembangan PLTS yang menempel dengan PLTA sehingga bisa mengatasi kendala intermitensi.

"RUU EBT ini sifatnya percepatan, karena harus melipatgandakan realisasinya dan magnitudenya besar. Misalnya untuk listrik kalau kita mau naik dua kali lipat berarti harus menaikkan sampai 12 ribu gigawatt," kata Dadan.


(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pemanis Energi Terbarukan

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular