Inflasi Ramadan Diramal Selow, Ekonomi RI Belum Berlari

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 April 2021 14:20
Pengunjung memlih pakaian yang dijual di salah satu pusat perbelanjaam di Kawasan Depok, Jawa Barat, Selasa (5/1/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) memberi sinyal bahwa daya beli masyarakat mulai membaik karena salah satu indikatornya yakni inflasi komponen inti tumbuh positif mencapai 0,05 persen pada Desember 2020. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pengunjung memlih pakaian yang dijual di salah satu pusat perbelanjaam di Kawasan Depok, Jawa Barat, Selasa (5/1/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) memberi sinyal bahwa daya beli masyarakat mulai membaik karena salah satu indikatornya yakni inflasi komponen inti tumbuh positif mencapai 0,05 persen pada Desember 2020. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada Ramadan tahun ini, sepertinya laju inflasi Indonesia masih terbatas. Padahal Ramadan-Idul Fitri adalah puncak konsumsi masyarakat.

Indonesia (BI) memperkirakan inflasi April 2021 bakal sebesar 0,18% (month on month/mom). Dengan perkembangan tersebut, perkiraan inflasi April 2021 secara tahun kalender sebesar 0,63% (ytd), dan secara tahunan (yoy) 1,47%.

Penyumbang inflasi masih didominasi oleh pos harga pangan. Naiknya harga pangan di saat bulan puasa memang lazim karena permintaan juga meningkat. Namun kenaikan harga pangan juga disumbang oleh jalur distribusi yang tidak efisien atau bahkan karena supply shock

Sementara itu pos pembentuk inflasi yang lain masih terbatas. Untuk sektor yang mengandalkan mobilitas publik, seperti transportasi juga masih terbatas. Ada peluang bahwa inflasi tahun ini juga rendah. Setidaknya berada di range bawah sasaran target BI yaitu 2% plus minus satu poin persentase. 

Baik pemerintah maupun BI sudah menggelontorkan berbagai stimulus. Lewat instrumen fiskal pemerintah memberikan relaksasi pajak mulai dari PPnBM untuk mobil, PPN untuk rumah hingga bantuan sosial lain. 

BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin (bps). Giro Wajib Minimum (GWM) juga sudah diturunkan. Bersama dengan pemerintah dan OJK, BI memberikan kelonggaran berupa relaksasi DP. 

Uang beredar juga menunjukkan pertumbuhan yang positif. Posisi uang dalam arti luas (M2) pada Maret 2021 sebesar Rp6.888,0 triliun atau tumbuh sebesar 6,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 11,3% (yoy).

Perlambatan tersebut terjadi pada seluruh komponennya yaitu uang beredar sempit (M1), uang kuasi, dan surat berharga selain saham. Pertumbuhan M1 pada Maret 2021 sebesar 10,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 18,6% (yoy).

Pertumbuhan uang kuasi juga melambat, dari sebesar 9,2% (yoy) pada bulan sebelumnya menjadi 5,9% (yoy) pada Maret 2021. Perlambatan uang beredar pada Maret 2021 turut dipengaruhi oleh realisasi tahun sebelumnya (base effect) berupa tingginya pertumbuhan pada Maret 2020 sebesar 12,1%.

Halaman Selanjutnya --> Transmisi Kebijakan Moneter Masih Nge-Lag

Inflasi inti yang terus melambat menunjukkan daya beli masyarakat yang ada masalah. Permintaan belum melonjak signifikan. Dari sisi kredit, suku bunga kredit juga belum turun signifikan di tengah agresifnya BI memangkas suku bunga acuan. 

Di sisi lain bank-bank memang sudah berupaya memompa penyaluran kredit baru. Berbeda dengan tahun lalu di mana kredit terus melambat, penyaluran kredit di tahun 2021 diperkirakan tumbuh 6%. 

Namun pertumbuhan kredit dengan laju 6% tentu saja kurang cukup untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan juga inflasi. Selagi suku bunga kredit belum turun sesuai dengan suku bunga acuan, maka bisa jadi konsumen maupun pelaku usaha akan tetap menunggu hingga biaya meminjam lebih murah sehingga permintaan kredit tetap terbatas. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular