EARTH DAY SUMMIT

Awas, Karbon Netral ala Biden Bisa Ancam Ketahanan RI!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
23 April 2021 09:55
PLTU Tanjung Jati B
Foto: PLTU Tanjung Jati B (Dok. PLN)

Kasus Texas memberi pelajaran penting tentang pentingnya mitigasi dan pengelolaan listrik yang berkelanjutan. Listrik bukanlah kebutuhan sekunder yang bisa ditunda atau dimaklumi ketika sedang tak tersedia, melainkan kini telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat modern.

Dalam konteks ini, listrik berkelanjutan bukan berarti listrik yang 100% berbasis energi terbarukan. Faktanya, listrik dari energi terbarukan tidak bisa diandalkan karena faktor cuaca. Texas yang mengoperasikan jaringan listrik (grid) dan bauran energi terbarukan terbesar (mencapai 35%) dalam produksi listrik AS saja gagal karena faktor cuaca.

Di tengah kegagalan tersebut, justru energi fosil menjadi "kuda hitam" yang dipacu lebih kencang ketika "kuda poni" energi terbarukan kelelahan atau terkena flu. Ketika listrik tidak ada seperti dalam kasus Texas, dan energi fosil dipacu, suara aktivis anti-fosil tak lagi terdengar.

Data ERCOT menyebutkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) memang jadi "malaikat penyelamat" di tengah situasi buruk Texas. Pasokan listriknya mampu didongkrak hingga 15.000 MW hanya dalam 1 hari meski surut menjadi 5.000 MW karena ketiadaan fasilitas winterisasi. Sebaliknya, PLTB kehilangan 7.000 MW dan sama sekali tak bisa didongkrak.

qSumber: ERCOT

Susan F. Tierney, anggota Committee on the Future of Electric Power, dalam paparan di RDP Kongres mengakui bahwa energi terbarukan masih memiliki banyak pekerjaan rumah, di mana kendala kesalahan manusia, serangan siber dan faktor alam tak bisa dihilangkan sepenuhnya.

Namun, dalam kesimpulan dan rekomendasi yang dia sampaikan, problem mahalnya energi terbarukan-yang membuat sistem winterisasi tak terjangkau di Texas-tidak disinggung. Anggota Dewan Penasihat Eksternal National Renewable Energy Laboratory ini lebih memilih menyorot pentingnya memperbaiki kinerja dan sistem pembangkitan listrik PLTG.

Dari situ, terlihat bahwa ada ketimpangan dalam memandang problem energi secara objektif. Energi fosil dianaktirikan demi mendorong energi non-fosil yang belum bisa menjadi base load (pemikul beban listrik berkelanjutan).

Sejauh ini, energi terbarukan yang bisa menjalankan fungsi sebagai base load adalah panas bumi dan air. Selama sistem kelistrikan berbasis energi terbarukan belum mampu menjadi base load dalam skala nasional, maka tugas sebagai kuda hitam tertumpu pada energi fosil.

Oleh karenanya, riset dan insentif pengembangan kedua jenis energi harus berjalan beriringan. Energi terbarukan dikembangkan agar mampu lebih efisien dan reliabel, sementara energi fosil didorong agar lebih bersih dan minim emisi karbon.

Pemerintah juga harus jeli memilih sumber energi yang efektif, dan tidak asal membangun proyek. Sebagai contoh, PLTB di Indonesia tidaklah seprospektif di Eropa, jika mengacu pada data Global Wind Atlas mengenai sumber daya angin. Ada baiknya mencari alternatif energi terbarukan yang lebih efektif dalam pembangkitan listrik.

qSumber: GWA

 "Kita harus cerdas memikirkan masa depan energi dunia. Ini termasuk investasi berkelanjutan di 'Revolusi Energi Baru' yang sedikit terkait dengan teknologi PLTB dan PLTS, dan secara bersamaan terus memodernisasi infrastruktur yang ada untuk membuatnya lebih efisien dan berkelanjutan," tutur Lars Schernikau, pemerhati energi berbasis di Swiss, kepada CNBC International

Indonesia, sejauh ini, memang memutuskan mengambil jalan tengah dengan target karbon netral pada 2070 untuk membenahi pekerjaan rumah terkait dengan penggunaan kedua sumber energi tersebut secara proporsional. Tidak perlu terburu-buru demi gengsi internasional, apalagi demi mengikuti program presiden di negara lain.

Pasalnya ketahanan energi, yang menyangkut hajat hidup rakyat baik secara ekonomi maupun sosial, sangat dipertaruhkan di sini. Itulah mengapa Indonesia-bersama China dan India-yang menyepakati visi Biden terkait pengurangan emisi, tak lantas mau didikte dengan tenggat 2050.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/sef)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular