Garis Pantai RI Terpanjang Tapi Garam Masih Impor, Kok Bisa?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 April 2021 16:50
[DALAM] Impor Garam & Beras
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 Km, terpanjang kedua di dunia dan memiliki luas laut mencapai 5,8 juta km persegi. Namun mengapa sampai garam saja harus bergantung pada impor? apakah ada korelasinya?

Dalam 10 tahun terakhir rata-rata impor garam Indonesia mencapai 2,3 juta ton. Dalam setahun setidaknya nilai impor garam US$ 100 juta atau setara dengan Rp 1,45 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.500/US$ untuk mendatangkan garam dari Australia dan India sebagai pemasok terbesar. 

Impor garam kembali melonjak tahun 2021 dan menjadi sorotan belakangan ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor garam di Maret 2021 sebanyak 299.736 ton. Realisasi ini naik 275% dari Februari 2021 sebanyak 79.929 ton.

Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya impor garam naik 54,02%, dimana pada Maret 2020 impor sebanyak 194.608 ton. Secara kumulatif di kuartal I-2021, impor tercatat sebanyak 379.910 ton atau naik 19,60% dibandingkan dengan kuartal I-2020 sebanyak 317.642 ton.

Impor garam yang jor-joran dikarenakan produksi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik. Menurut catatan Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP), RI punya lahan garam seluas 27.047,65 ha.

Seluas 22.592,65 ha dimiliki oleh petambak garam yang jumlahnya mencapai 19.503 orang. Sisanya yang 4.455 ha lainnya milik PT Garam, BUMN yang bergerak di bidang bisnis garam.

Indonesia memiliki 9 sentra produksi garam yang tersebar di bagian barat, tengah dan timur di Indonesia. Di bagian barat ada sentra produksi garam di Indramayu dan Cirebon, di tengah ada Pati, Rembang, Gresik dan Pulau Madura. Sementara di bagian Timur ada di NTB (Bima), NTT dan Sulawesi Selatan (Jeneponto).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi memprihatinkan ini bisa terjadi. Mari ulas satu per satu penyebab utamanya.

Pertama, soal lahan, ada persoalan lahan tambak garam yang terus menyusut. Pada 2005 luas lahan tambak garam mencapai 33.625 ha. Sementara di tahun 2019 luas lahan garam mencapai 27.048 ha. Dalam kurun waktu 14 tahun lahan garam telah menyusut 6.577 ha atau menyusut 19,5%. Artinya per tahun, lahan untuk tambak garam menciut 1,4%.

Kedua, produksi dan produktivitas garam yang fluktuatif disebabkan oleh metode produksi garam di Indonesia yang terbilang konvensional. Produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan dengan menguapkan air laut di atas lahan luas menggunakan panas matahari (solar evaporation). Metode produksi seperti ini tentu sangat bergantung pada musim kemarau.

Ketiga, intervensi teknologi masih minim. Padahal sudah banyak dikembangkan teknologi untuk mendongkrak produktivitas dan produksi garam. Salah satu contohnya adalah teknologi prisma dan teknologi geomembran.

Penggunaan teknik produksi yang masih tradisional dan minimnya penerapan teknologi, produktivitas garam RI mentok di angka 90-an ton/ha. Kalah jauh dengan Australia yang mampu mencapai 350 ton/ha.

Keempat, persoalan lingkungan juga mempengaruhi tingkat produksi dan kualitas garam dalam negeri. Garam dengan kualitas yang baik sangat bergantung pada karakteristik air laut, tanah dan iklimnya.

Sayangnya, dengan menggunakan metode solar evaporation secara tradisional, faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas garam itu justru menjadi kendala dalam proses produksi karena beberapa hal : 

  • Di Indonesia, air laut banyak yang bercampur dengan air tawar karena sebagian besar laut menjadi muara bagi aliran sungai tawar. Di samping itu, air laut juga sering tercemar dengan polutan tertentu.
  • Curah hujan di area produksi garam pada musim kemarau berkisar 100 - 300 mm per musim dengan tingkat kelembaban 60% - 80%. Hal ini mengakibatkan kualitas garam rendah. Di negara produsen garam besar seperti Australia, curah hujan pada musim kemarau hanya 10 - 100 mm per musim dengan tingkat kelembaban 30 - 40%.
  • Musim kemarau dengan paparan panas tinggi di Indonesia berlangsung relatif pendek hanya 3 - 4 bulan per tahun. Sementara itu, di Australia dan China panjang paparan sinar matahari dapat mencapai 11 bulan per tahun.

  • Pesisir yang landai, tanah tak poros/tembus, dan laut yang tenang dengan variasi pasang surut tak terlalu besar tidak dimiliki oleh seluruh wilayah pesisir Indonesia, sehingga, pada 2015 hanya ada sembilan provinsi yang memiliki tambak garam.

Kelima yang tak kalah penting adalah tata niaga yang tidak dikelola dengan baik. Seringkali yang berbau dengan kuota impor sangatlah riskan dengan adanya pemburu rente atau mafia. Perhitungan kuota impor harus benar-benar didasarkan pada kebutuhan bukan akal-akalan. 

Karena sejumlah faktor di atas, garam rakyat yang diproduksi di Indonesia hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 81%-96%, sehingga masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, khususnya garam industri yang mensyaratkan kualitas garam memiliki kandungan NaCl minimal sebesar 97%.

Apabila kelima masalah di atas tidak segera dicarikan solusinya maka banjir bandang impor garam akan terus meningkat karena kebutuhan garam nasional baik untuk konsumsi maupun industri setiap tahunnya meningkat. 

Berdasarkan perkiraan Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), kebutuhan garam di 2025 akan mencapai 7 juta ton, kemudian kebutuhan garam tahun 2030 kemungkinan akan di 10 juta ton. 

Apabila rata-rata produksi per tahun stagnan di angka 2 juta ton atau bahkan menurun. Maka bisa-bisa impor garam sampai empat kali lipat tingkat produksinya. Masih relevan dengan negara yang punya salah satu garis pantai terpanjang?

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Impor Garam dari Australia hingga (Lagi-lagi) China

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular