
Soedradjad Djiwandono Khawatir Posisi BI Kembali ke Era Orba

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah kalangan menilaiĀ Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral harus tetap independen. RUU Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang sedang dibahas di parlemen dinilai akan mengganggu kinerja BI.
Gubernur BI periode 1993-1998 Soedradjad Djiwandono mengatakan jika RUU sektor keuangan bertujuan mensentralisasi kebijakan, maka kebijakan bank sentral di Indonesia akan balik seperti saat zaman orde baru.
Pada saat zaman orde baru tersebut, dalam bank sentral terdapat Dewan Moneter. Saat itu, kata Soedradjad, saat bank sentral ingin menaikkan suku bunga, sangat sulit untuk dilakukan.
"Karena harus meyakinkan keseluruhan dewan moneter dan kebijakan itu ada di tangan dewan moneter, bukan BI. Ketuanya adalah seorang menteri yang tunduk terhadap presiden," jelas Soedradjad dalam sebuah webinar, Senin (19/4/2021).
"Seandainya RUU mengarah ke situ (sentralisasi kebijakan) bisa membahayakan kinerja bank sentral dan kinerja seluruh sistem keuangan yang ingin diselamatkan," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, secara praktik, bank sentral sudah seharusnya wajib berdiri sendiri dan independen. Sebab, bank sentral harus merumuskan kebijakan moneter dan makroprudensial yang sifatnya jangka panjang.
"Kalau kita lihat intervensi atau independensi yang berkurang dari bank sentral bisa mempengaruhi kredibilitas dari persepsi bank sentral. Oleh sebab itu mendukung kebijakan atau otoritas moneter BI adalah lembaga yang independen," tuturnya.
Jika BI masuk dalam pusaran pemerintah, maka kata Josua bisa dipastikan membuat kebijakan moneter sulit dicapai. Mengingat setiap lima tahun sekali Indonesia selalu mengganti struktur kenegaraan, termasuk kebijakannya.
Josua juga mengambil contoh kebijakan bank sentral di Turki dan India yang kebijakannya tergantung di bawah pemerintahannya. Hasilnya kedua bank sentral tersebut malah tidak dipandang lagi kredibilitasnya oleh market.
"Semua ini berkontribusi pada melemahnya kredibilitasnya. Penerapan kebijakan moneter yang semakin kompleks. [...] Ini mendapat sorotan dari pasar dan media untuk menilai apakah ada ancaman yang efektif terhadap pelaksanaan kebijakan moneter yang tidak independen," jelas Josua.
Dirinya pun membandingkan kondisi ekonomi sejak tahun 1998 saat BI belum independen dengan tahun 2008 maupun 2021 saat independensi BI mulai berjalan.
"Terindikasi inflasi saat krisis 1998 tingkat harga melonjak 82% sedangkan 2008 terjadi kepanikan global (inflasi) sempat 12,1% namun di 2021 cukup rendah di 1,38%," kata Josua melanjutkan.
Josua berpandangan, dengan independensi serta sinergi yang kuat antar regulator akan menghasilkan sektor keuangan, terutama perbankan terjaga. Contohnya NPL perbankan tahun ini terjaga pada kisaran 3%.
Dibandingkan saat independensi BI terpenjara oleh Dewan Moneter pada 1998, NPL perbankan sempat membengkak ke level di atas 20%.
"Bahkan pada tahun 1960an, Bank Sentral di Indonesia tidak independen dan mengalami hyper inflation dan berkontribusi mencetak uang untuk anggaran pemerintah," tuturnya.
"Kebijakan moneter yang independen memungkinkan bank sentral untuk mengambil keputusan yang tidak populer di mata publik namun penting bagi kesehatan ekonomi di jangka panjang," jelasnya.
Kemudian, salah satu mandat dari RUU yang juga disebut sebagai Omnibus Law Sistem Keuangan, salah satu mandat BI untuk melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial terhadap sistem keuangan.
Menurut Josua Bank Indonesia saat ini kebijakannya bukan hanya berfokus terhadap moneter saja, tapi BI juga sudah berperan aktif dalam kebijakan makroprudensial yang lebih luas.
"Saya pikir ini peran yang sudah lebih luas, tidak hanya mengurusi stabilitas rupiah dan inflasi. Peran BI sudah luas, dari sisi ekonomi syariah, stabilitas sistem keuangan," jelas Josua.
Selain itu, mandat lain dalam draf RUU Omnibus Law Sistem Keuangan, kebijakan BI juga harus mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka pengangguran.
Menurut Josua jika hal itu dilakukan BI, maka keputusan bank sentral tidak akan menggambarkan kondisi makro ekonomi terkini.
Pasalnya, data pengangguran di Indonesia dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dua kali dalam setahun, kemudian data pertumbuhan ekonomi empat kali dalam setahun. Sedangkan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dilaksanakan setiap bulan.
"Pengambilan keputusan Bank Indonesia akan sering didasarkan pada data yang lagging dan tidak mencerminkan kondisi makro ekonomi saat ini," jelas Josua.
Lebih lanjut, Josua mengatakan tingkat pengangguran yang Ideal atau Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU) sangat sulit untuk diestimasi bahkan sekalipun data tingkat pengangguran bulanan tersedia.
"Asumsi pemodelan untuk menentukan NAIRU, struktur ekonomi tidak berubah di jangka panjang. Pada kenyataannya perubahan struktural dalam perekonomian menyebabkan pasokan tenaga kerja dan aggregate supply berubah dan membuat NAIRU menjadi tidak akurat," katanya.
Sebagai gambaran, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan saat ini dikabarkan telah menyelesaikan draft RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU Sektor Keuangan.
Dalam draf RUU Sektor Keuangan terdapat aturan mengenai campur tangan Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dalam penunjukan anggota Dewan Pengawas Bank Indonesia (BI) dan Dewan Pengawas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta berbagai kebijakannya.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Cuma 6, Ada 4 Uang Lagi Bakal Tak Laku Ditukar