Vaksinasi Mandek, Pemulihan Ekonomi Mungkin Cuma Mimpi...

Maikel Jefriando, CNBC Indonesia
16 April 2021 11:10
Infografis: Indonesia Masuk Jurang Resesi, Terus Aku Kudu Piye?
Foto: Infografis/Indonesia Masuk Jurang Resesi, Terus Aku Kudu Piye?/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki awal 2021 muncul berbagai prediksi perekonomian Indonesia, mulai dari yang menyenangkan hingga kemungkinan terburuk. Tiga bulan berjalan, sepertinya arah ekonomi menuju pilihan terburuk.

Selalu diucapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan banyak pejabat, vaksin adalah game changer dari pandemi. Tentu kalau sukses. Bila tidak maka akan bertolak belakang dari keinginan pemerintah.

Vaksin, seperti disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, ketersediaannya menipis. Suplai yang dijanjikan dari berbagai produsen tak kunjung datang. Bahkan bakar burung menyebutkan barangnya batal untuk dikirim ke Indonesia.

Budi menjelaskan, rencana ketersediaan vaksin secara total pada Maret dan April sebesar 30 juta dosis, di mana masing-masing 15 juta dosis. Hanya saja realisasinya adalah 20 juta dosis.

"Sehingga, laju vaksinasinya, mohon maaf seluruh temen-temen media, agak kita atur kembali sehingga kenaikan tidak secepat sebelumnya karena vaksinnya yang berkurang supply-nya," ungkap Budi.

Kekhawatiran akan pasokan vaksin sudah disampaikan Budi sebelumnya pasca aksi beberapa negara yang berniat menahan produksi dan distribusi ke negara lain. Tidak cuma Indonesia, banyak negara lain juga alami perlambatan dalam vaksinasi.

"Kita sedang nego dengan negara produsen vaksin. Mudah-mudahan Mei kembali normal dan kita lakukan vaksinasi dengan rencananya sebelumnya," jelasnya.

Per 15 April, Satgas Covid merilis jumlah orang yang sudah divaksin mencapai 10,5 juta untuk vaksinasi ke 1 dan 5,7 juta untuk vaksinasi ke 2. Realisasi ini masih jauh dari target sasaran 181,5 juta.

Pemerintah menginginkan target tersebut bisa tercapai pada akhir tahun. Sehingga menciptakan kekebalan kelompok atau herd immunity. Hal itu juga yang kemudian mampu mendorong akselerasi pada mobilitas masyarakat menuju pemulihan ekonomi nasional. Tapi sayangnya akan sulit tercapai.

Jokowi mengingatkan, Indonesia akan berada pada kondisi yang berat bila ekonomi pada kuartal II-2021 tidak tumbuh mencapai 7%, dengan asumsi di akhir tahun sebesar 5%. Periode April - Juni menjadi momentum pembalikan setelah kontraksi dalam pada periode yang sama tahun lalu sebesar -5,32%.

"Ini sangat menentukan sekali pertumbuhan ekonomi kita bisa melompat naik atau tidak. Kalau tidak, kuartal berikutnya kita akan betul-betul sangat berat," jelas Jokowi (15/4).

Berat yang dimaksud Jokowi mungkin mengacu pada ancaman tehadap ekonomi Indonesia di tahun depan, yaitu taper tantrum. Kondisi krisis mini yang mampu mengobrak-abrik pasar keuangan dalam negeri seperti yang terjadi pada 2013.

Pemicunya juga masih sama yaitu Amerika Serikat (AS). Indikasinya sudah terlihat sekarang, ekonomi AS akan tumbuh lebih kencang akibat kebijakan fiskal yang agresif. Ini akan diikuti dengan kenaikan inflasi dan kenaikan suku bunga acuan oleh the Fed. Pada saat itulah dana yang berputar di Indonesia kabur.

"Makanya saya bilang pemulihan ekonomi Indonesia harus lebih cepat sebelum tapering di AS terjadi," kata Ekonom Senior Chatib Basri kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

Sedikit gambaran pada 2013, rupiah seketika anjlok melewati Rp 10.000 per dolar AS kemudian sampai ke Rp 12.000 per dolar AS. Harga barang impor kemudian melonjak. Termasuk sembako yang banyak juga didatangkan dari luar negeri seperti kedelai, beras, bawang, garam dan lainnya.

Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) saat itu naik sampai 175 bps. Sehingga angan 'budak cicilan' untuk menikmati suku bunga KPR rendah tak akan jadi kenyataan. Pertumbuhan ekonomi kemudian menjadi lebih lambat dari biasanya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular