Mengejar BLBI: Kasus Puluhan Tahun Bernilai Ratusan Triliun

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
13 April 2021 04:41
Infografis, Bisnis Taipan Tajir Tersangka Blbi
Foto: Infografis/Sjamsul Nursalim Tersangka BLBI/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) 'tergoda' untuk membuka kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan SP3 atau memberhentikan penyidikan kasus ini.

Jika ditarik ke belakang, pada 1997-1998 terjadi krisis moneter alias krismon yang diawali melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

Setelah adanya paket deregulasi deregulasi perbankan Oktober 1988 (Pakto 88), bank-bank baru bermunculan seiring kemudahan izin mendirikan bank. Saat itu orang bisa bikin bank hanya dengan modal Rp 1 miliar.

Kendati demikian booming perbankan tidak dibarengi dengan manajerial yang tepat. Akibatnya, saat kurs rupiah jeblok, utang valas perbankan membengkak. Di saat yang sama, debitur yang terpapar krisis kesulitan membayar kewajiban valasnya kepada perbankan.

Bank Indonesia dan Menteri Keuangan yang kala itu juga dijabat Sri Mulyani Indrawati kemudian menyepakati penyelesaian dengan BLBI, melalui berbagi beban (burden sharing). Bank sentral menanggung beban Rp 24,5 triliun, sisanya jadi tanggungan pemerintah.

Pada Oktober 1997, pemerintah kemudian tak bisa menemukan jalan keluar dan meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Kemudian pada Januari 1998, IMF datang menyelamatkan bank-bank di Indonesia melalui pinjaman senilai US$ 40 miliar.

Salah satu syarat agar Indonesia mendapatkan pinjaman dari IMF adalah dengan melikuidasi bank-bank sakit. Perjanjian itu kemudian disepakati dalam letter of intent (LoI).

Mengacu Keputusan Presiden No.27 Tahun 1998, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan ini bertugas menyelesaikan aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian negara yang tersalur di perbankan.

Pada 1998 setelah adanya bantuan IMF terjadi lah penutupan 16 bank, yang kemudian membuat masyarakat panik dan ramai-ramai menarik simpanannya di bank, sehingga bank kehabisan likuiditas.

Bank Indonesia (BI) pun kemudian mengguyur banyak likuiditas ke bank yang seret likuiditasnya.

Melansir situs Kementerian Keuangan, disebutkan usaha-usaha penyelamatan bank seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bantuan Solvabilitas Dana Talangan oleh pemerintah berpotensi besar merugikan keuangan negara.

"Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2000, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun dari Rp 144,536 triliun BLBI yang disalurkan. Bantuan kredit itu diberikan kepada kepada 48 bank," jelas Kementerian Keuangan dalam situs resminya, dikutip CNBC Indonesia, Senin (12/4/2021).

"Bantuan kredit yang awalnya bersifat Likuiditas menjadi Solvabilitas karena pada ujungnya Pemerintah yang menanggung kerugian dengan mengambil tanggung jawab para Kreditur ke BI," kata Kementerian Keuangan melanjutkan.

Masih dari situs Kementerian Keuangan, pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menemukan penyimpangan senilai Rp 54,561 triliun yang dilakukan oleh 28 bank yang diberikan bantuan likuiditas oleh BI.

Lalu ditambah lagi sebesar Rp640,9 triliun dana penyehatan perbankan yang digelontorkan pemerintah pada sepanjang 1997-2004.

Sampai pada 2017, berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, pemerintah melalui Kemenkeu saat ini masih mengelola aset-aset para obligor tak tertagih, tercatat setidaknya masih ada 22 obligor penunggak BLBI senilai Rp 31 Triliun.

Pemerintah Jokowi pada tahun ini memutuskan untuk membentuk satuan tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI untuk mengejar utang perdata BLBI.

Pembentukan satgas tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 April lalu. Satgas ini akan bertugas untuk menagih dan memproses jaminan agar menjadi aset negara.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengemukakan total keseluruhan utang perdata kasus BLBI yang dikejar pemerintah mencapai nyaris Rp 110 triliun.

"Saya baru saja memanggil Dirjen Kekayaan Negara dan Kejagung. Tadi menghitung hampir Rp 110 triliun. Jadi bukan Rp 108 triliun, tapi Rp 109 lebih. Tapi dari itu yang realistis yang ditagih berapa masih perlu kehati-hatian," kata Mahfud dalam video singkat, Senin (12/4/2021).

Mahfud juga mengatakan aset BLBI yang dikejar pemerintah beragam, mulai dari berbentuk sertifikat bangunan.

Selain berbentuk sertifikat, aset yang diburu juga ada yang berbentuk dengan barang yang nilainya kemungkinan sudah naik. Pemerintah, kata Mahfud, akan berhati-hati untuk menginventarisasi aset-aset tersebut.

"Ada yang berbentuk sertifikat bangunan, tapi barangnya mungkin tidak sesuai dengan sertifikat. Ada yang baru menyerahkan surat pernyataan tapi dokumen pengalihannya belum diserahkan kepada negara, belum ditandatangani karena masih ada dugaan pidana dan sebagainya," ujar jelas Mahfud.

"Timbul tafsir apakah barang ini jaminan pelunasan kredit atau aset itu dikuasai oleh negara. Tentu bagi kami itu aset negara, karena nilainya kala itu di bawah itu. Kalau sekarang berkembang lagi, itu kemudian perlu kepastian dulu," kata Mahfud melanjutkan.

Mahfud menegaskan satgas akan mulai bekerja untuk memburu aset-aset BLBI. Pemerintah memastikan prosesnya akan tetap transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.

"Pasti transparan. Nanti ada pemanggilan-pemanggilan, kemudian akan diumumkan uangnya berapa yang langsung dieksekusi seberapa besar, kita nanti akan transparan kepada masyarakat," jelasnya.

Dalam struktur satgas penagihan utang BLBI yang dibentuk Jokowi, diketahui tidak ada representatif atau perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ada beberapa alasan pemerintah tidak mengikutsertakan KPK dalam Satgas. Komisi antirasuah, bukanlah lembaga hukum pidana dan bukan bagian dari lembaga pemerintah.

"Kalau dia masuk tim kita, nanti dikira disetir. Biar dia bekerja. Kalau ada korupsinya dari kasus ini, nanti bisa dia ikut tetap diawasi," jelasnya.

Meski demikian, Mahfud mengakui bahwa pemerintah tetap berkoordinasi dengan KPK. Sebab, KPK memiliki data yang bisa dijadikan acuan pemerintah untuk proses penanganan hak tagih.

"KPK punya data lain di luar soal hukum perdata, yang bisa ditagihkan, digabungkan ke perdata karena pidananya sudah diputus," jelasnya.

Berikut struktur Satgas penagih utang BLBI yang dibentuk Jokowi:

Pengarah

1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Mahfud Md)
2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Airlangga Hartarto)
3. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Luhut Binsar Pandjaitan)
4. Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati)
5. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Yasonna Laoly)
6. Jaksa Agung (ST Burhanuddin)
7. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Jenderal Listyo Sigit Prabowo).

Pelaksana

1. Ketua Satgas, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Rionald Silaban)
2. Wakil Ketua Satgas, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Republik Indonesia (Feri Wibisono)
3. Sekretaris, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Sugeng Purnomo).

Pertanyaannya saat ini, kepada siapa pemerintah akan menagih utang tersebut, dan apakah bisa?

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menekankan Sagas Penagihan utang BLBI tersebut, seharusnya bisa menjelaskan terlebih dahulu kepada masyarakat secara rinci, mana saja yang menjadi utang.

"Ada dana talangan dalam bentuk BLBI. Itu yang kemudian menjadi utangnya bank. Bank kemudian menutupnya dengan memberikan collateral, jaminan berbagai kredit. Itu yang seharusnya diperhitungkan, berapa bantuan likuiditasnya, berapa utanganya."

"Berapa yang sudah ditutup dengan semua collateral dari jaminan kreditnya, berapa yang tersisa dan kemudian menjadi utang. Berapa yang kemudian dicicil, berapa yang kemudian dilunasi. Itu dijelaskan berapa," jelas Piter kepada CNBC Indonesia, Senin (12/4/2021).

Sehingga tugas Satgas BLBI seharusnya tidak hanya sekedar menagih. Tapi harus menjelaskan kepada masyarakat seperti apa kasus BLBI sebenarnya.

Menurut Piter kebijakan BLBI kala 1997-1998 silam dinilai sudah baik, namun pada prakteknya ada penyalahgunaan, di mana uang itu diberikan kepada 'konglomerat hitam' atau para pemilik bank yang memanipulasi.

"Praktik-praktik itu yang seharusnya menurut saya dijelaskan sedetail-detailnya kepada masyarakat, supaya masyarakat paham. Mana yang salah, mana yang benar," jelas Piter.

Kendati demikian, Piter optimistis utang-utang BLBI itu bisa ditagih, pasalnya sampai saat ini belum ada pernyataan lunas dari pemerintah dan sudah memang seharusnya pemerintah menuntaskan kasus BLBI.

Dihubungi terpisah, Ekonom Indef Bhima Yudhistira memandan pembentukan Satgas Penagihan Utang BLBI kepada debitur atau obligor ini sangat pentin, di tengah situasi keuangan negara yang mengalami defisit.

Bhima menyarankan agar Satgas Penagihan Utang BLBI ini diberikan tenggat waktu secepatnya, sehingga ada target yang diberikan untuk menarik kewajiban yang belum dibayarkan oleh para debitur atau mereka yang tersangkut BLBI.

"Karena ini melibatkan dana yang sifatnya tidak kecil, ratusan triliun rupiah. Kemudian, banyak debitur sekarang juga tidak di Indonesia. Mungkin sudah beralih kewarganegaraan, atau pindah ke Luar Negeri," jelas Bhima kepada CNBC Indonesia.

Oleh karena itu, lanjut Bhima langkah yang paling tepat adalah menjalin kerjasama dengan pemerintah di negara lain. Sebagai salah satu upaya jika para tersangka yang terlibat di dalam BLBI menempatkan dananya di bank-bank di luar negeri atau negara lainnya,

"Sehingga data nama dan tempat, kemudian di simpan di lembaga apa, seharusnya pemerintah sudah bisa mendapatkan data tersebut."

"Ini harusnya didorong agar lebih cepat dan lebih baik lagi dan paling penting, bukan hanya pengembalian uangnya tapi juga memastikan apabila ada kasus hukum harus segera diselesaikan," jelas Bhima.

Pada akhirnya, hal yang dilakukan Satgas Penagihan utang BLBI bisa memberikan kepastian dan pelajaran bagi para pemangku kepentingan untuk tidak mengulangi kesalahan BLBI di kemudian hari.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular