
Membayangkan Tanpa Barang Impor, Seperti Apa Ekonomi RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara spesifik mengajak masyarakat Indonesia untuk membenci produk asing. Ia meminta masyarakat untuk mencintai produk lokal. Bagaimana dampaknya seruan itu secara lebih luas terhadap ekonomi Indonesia?
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, secara teori perdagangan internasional dengan segala turunannya akan membawa kemakmuran terhadap negara-negara yang melakukannya. Terlebih saat ini, Indonesia ada di era perjanjian kerjasama skala besar.
"Negara-negara yang menentang arus hanya akan mendapatkan konsekuensi buruk di jangka panjang, meskipun di jangka pendek mereka bisa saja menuai keuntungan," jelas Fithra kepada CNBC Indonesia, Senin (8/3/2021).
"Apapun dampaknya di jangka panjang, dalam jangka pendek tetap saja ada penyesuaian di mana para pekerja yang kurang terdidik dan memiliki kemampuan terbatas adalah golongan yang paling berat," kata Fithra melanjutkan.
Indonesia dalam rantai produksi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, kata Fithra sudah sangat tertinggal. Apalagi jika melihat tren Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang terus meningkat hingga lebih dari 6 jauh diatas level sebelum krisis (periode 1993-1996) yang sebesar 3.8 dan salah satu yang terburuk di ASEAN.
Untuk diketahui, ICOR menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin kecil angka ICOR, biaya investasi harus semakin efisien untuk menghasilkan output tertentu. ICOR sangat dipengaruhi kemudahan dalam berbisnis dan daya saing pasar tenaga kerja.
Artinya perekonomian Indonesia sangat tidak efisien. Dengan demikian, kata Fithra wajar saja Indonesia menjadi bulan-bulanan yang berujung pada tekornya neraca dagang.
"Tetapi tahun 2020 sepertinya justru menghadirkan peluang untuk Indonesia, meski Covid-19 menjadi hantu perekonomian sepanjang tahun, tetapi dalam konteks jaringan produksi dan juga perdagangan internasional, pandemi seakan membawa berkah," tuturnya.
Ada setidaknya dua hal yang membuat badai pandemi ini menjadi berkah untuk Indonesia, faktor China dan faktor relokasi. Dengan China yang berhasil menghindari resesi, permintaan dari negeri panda tersebut terhadap barang baku dan kebutuhan industri dari ASEAN justru meningkat.
Pasalnya, industri China masih bersifat suboptimal, dimana mereka memerlukan barang baku dari ASEAN untuk menopang perekonomian mereka. Pada akhirnya, Indonesia juga mendapatkan manfaat yang besar, bahkan merangsek di atas dalam kompetisinya dengan sesama negara ASEAN.
Berkah berikutnya untuk Indonesia, menurut Fithra adalah faktor relokasi. Selama pandemi, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa menyadari besarnya ketergantungan produksi yang berlebihan terhadap China.
Bahkan mantan Perdana Menteri Shinzo Abe Jepang sudah terang-terangan memberikan sebagian dari stimulus pandeminya untuk memindahkan pabrik-pabrik Jepang yang masih ada di China.
"Tampaknya ini akan menjadi semakin menarik menyimak langkah dari Yoshihide Suga yang mengunjungi Indonesia segera setelah dilantik menjadi perdana Menteri Jepang beberapa waktu yang lalu."
"Bukan suatu yang kebetulan ketika beberapa hari yang lalu kita juga mendengar beberapa pabrik Jepang seperti Panasonic Manufacturing, Denso dan Sagami berancang-ancang hengkang dari China menuju Indonesia," jelas Fithra.