
Zaman Lagi Susah Begini, Sudah Saatnya Tax Amnesty?

Ketika ekonomi seakan 'mati suri' akibat pandemi virus corona, pemerintah memang memberikan berbagai keringanan pajak. Mulai dari pembebasan PPh 21 untuk karyawan, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pembelian kendaraan bermotor, hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pembelian properti.
Tujuannya adalah untuk mengerek daya beli. Saat pendapatan masyarakat tergerus akibat pandemi, pemerintah memberi 'perangsang' dengan insentif pajak. Pembebasan PPh 21 akan membuat karyawan menerima gaji penuh tanpa potongan pajak sehingga bisa menaikkan daya beli. Tidak ditariknya PPnBM dan PPN akan membuat harga mobil dan rumah menjad lebih murah, yang lagi-lagi diharapkan merangsang konsumen untuk mengeluarkan uangnya.
Dalam kondisi krisis, rumah tangga dan dunia usaha tidak bisa menjadi tumpuan harapan pertumbuhan ekonomi. Adalah negara yang harus menjadi pemeran utama, mengambil posisi di tengah panggung sebagai agent of growth.
Konsekuensinya memang tidak enteng, sangat berat malah. Aktivitas ekonomi yang lesu tentu membuat penerimaan pajak ikut menciut sehingga modal untuk membiayai berbagai stimulus fiskal harus didatangkan dari utang.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk melepas sementara 'rem' disiplin fiskal dengan menaikkan batas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi boleh di atas 3% PDB, sesuatu yang sebelumnya diharamkan oleh Undang-undang (UU) Keuangan Negara.
Konsekuensi yang paling mencolok adalah pembengkakan utang pemerintah. Per akhir Januari 2021, total utang pemerintah mencapai Rp 6.223,14 trilun. Jumlah itu setara dengan 40,28% dari PDB.
Apa boleh buat, memang harus ada pengorbanan. Negara harus hadir memberikan stimulus fiskal agar 'roda' ekonomi bisa berputar. Walau itu harus dibayar dengan utang.
Praktik ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di seluruh negara. Pembengkakan utang pemerintah adalah fenomena global yang tidak bisa dihindari. Pemerintah wajib berkorban agar ekonomi bisa sehat kembali.
Bahkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menegaskan bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk mencemaskan utang. Sebab, yang paling penting adalah menyelamatkan rakyat dan perekonomian.
"Kekuatan fiskal sangat penting. Idealnya, Anda harus menghadapi tekanan seperti ini dengan postur fiskal yang kuat. Ini bukan saatnya untuk khawatir (soal defisit fiskal), karena yang terpenting adalah kita harus menang perang," tegas Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, belum lama ini sebagaimana dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Pemerintah Harusnya Memberi, Tak Harap Kembali
(aji/aji)