Jakarta, CNBC Indonesia - Pada 2017, saat program Pengampunan Pajak tutup buku, pemerintah berjanji bahwa itu mungkin yang kali terakhir. Tidak akan ada lagi pengampunan pajak, mungkin hingga generasi mendatang.
"Kau (Pengampunan Pajak) akan pergi meninggalkan diriku untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali lagi," ujar Ken Dwijugiasteadi, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan kala itu, dalam sebuah kesempatan pada akhir Maret 2017.
Namun, Ken tidak perlu bersedih lagi. Sebab, pekan lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Salah satu program yang termuat dalam UU itu adalah Pengampunan Pajak. Well, namanya memang berubah menjadi Program Pengungkapan Sukarela (PPS), tetapi esensinya sama.
Wajib Pajak yang merasa memiliki tanggungan Pajak Penghasilan (PPh) yang belum selesai bisa membayar 'dosa' tersebut. Cukup membayar tebusan, segala 'dosa' pajak terampuni. Kembali 0-0.
Berbeda dengan sebelumnya, PPS hanya berlaku enam bulan pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Berikut adalah tarif yang harus dibayar bagi mereka yang ingin ikut dalam PPS:
- 11% untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
- 8% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
- 6% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi terbarukan.
Dengan PPS, diharapkan kepatuhan pajak rakyat Indonesia akan membaik. Setelah PPS selesai, Wajib Pajak akan lebih taat dalam melaksanakan kewajibannya karena merasa sudah tidak ada beban. Tidak perlu takut lapor pajak, karena di belakang sudah tidak ada kesalahan yang bisa diungkit lagi.
Halaman Selanjutnya --> Padahal Pemerintah Sudah Punya 'Senjata' Lain
Namun, apakah amnesti pajak berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan?
Pada 2016, awal program Pengampunan Pajak, ada Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak yang dilaporkan ke Ditjen Pajak. Setahun kemudian jumlahnya turun menjadi 12,05 juta, 2018 turun lagi ke 11,09 juta, 2019 turun lagi menjadi 10,97 juta, dan 2020 naik ke 11,3 juta.
Selain itu, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio juga malah turun. Pada 2020, tax ratio Indonesia ada di 8,33%, terendah sejak 2000.
Jadi kalau niatnya adalah untuk meningkatkan kepatuhan dan menggenjot penerimaan pajak, maka sepertinya PPS bukan solusi. Sejatinya negara sudah punya solusi yang lebih ampuh, lebih nendang, lebih berkeadilan.
Solusi itu adalah memanfaatkan pertukaran data perpajakan secara otomatis dengan negara-negara lain (Automatic Exchange of Information/AEoI). Payung hukum pelaksanaan AEoI di Indonesia juga sudah ada yaitu UU No 9/2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
AEoI adalah sistem yang mendukung adanya pertukaran informasi rekening Wajib Pajak antar-negara pada waktu tertentu secara periodik, sistematis, dan berkesinambungan dari negara sumber penghasilan atau tempat menyimpan kekayaan kepada negara tempat wajib pajak bertempat tinggal. Di sini akan terjadi kesepakatan bersama untuk membuka dan memberikan akses informasi keuangan di dalam negeri kepada otoritas pajak negara lain dan memperoleh akses ke informasi keuangan di luar negeri secara otomatis. Dengan sistem ini, wajib pajak yang telah membuka rekening di negara lain akan bisa terlacak secara langsung oleh otoritas pajak negara asalnya.
Salah satu potensi penerimaan pajak yang bisa diungkap dengan AEoI adalah dari perusahaan digital. Seakan sudah menjadi praktik umum perusahaan-perusahaan ini mendirikan kantor di negara suaka pajak (tax haven countries) sehingga bisa lolos dari kewajiban perpajakan di negara tempatnya beroperasi dan mendapatkan keuntungan. Nah, praktik 'kucing-kucingan' seperti ini bisa dijegal dengan AEoI.
"Melalui dukungan AEoI dapat meningkatkan basis pajak serta mencegah praktik penghindaran pajak dan erosi perpajakan (base erosion profit shifting)," sebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah pidato pada Oktober 2017 lalu.
Halaman Selanjutnya --> Pemajakan Sektor Digital Punya Potensi
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menegaskan bahwa pemerintah semestinya lebih fokus untuk menerapkan skema pemajakan sektor digital. Sebab,potensi ekonomi digital Tanah Air memang tidak main-main.
"Kami menilai Kementerian Keuangan melewatkan momentum untuk menerapkan skema pemajakan digital yang sudah diterapkan di Austria, Prancis, India, Italia, Inggris, Spanyol, dan Turki. Implementasi pemajakan sektor digital bisa meraup setoran pajak minimal Rp 23,1 triliun," tulis Satria dalam risetnya.
Namun, lanjut Satria, pemerintah malah memilih PPS, yang melukai rasa keadilan Wajib Pajak yang patuh dan mereka yang sudah ikut serta dalam Pengampunan Pajak 2016-2017. Satria juga menilai PPS tidak lagi seampuh Pengampunan Pajak beberapa tahun lalu.
"Perlu dicatat bahwa antusiasme Pengampunan Pajak turun drastis pada Tahap II dan III. Pemerintah hanya menerima Rp 16,7 triliun aset yang direpatriasi dibandingkan Tahap I yang mencapai Rp 130 triliun," sebut Satria.
 Sumber: Kementerian Keuangan, Bahana Sekuritas |
Dalam sebuah makalah berjudul Can Indonesia Reform Its Tax System? Problems and Options karya James Alm yang diterbitkan oleh Tulane University pada Oktober 2019, disebutkan bahwa keuntungan menerapkan amnesti pajak relatif kecil. Amnesti pajak tidak berbanding lurus dengan peningkatan kepatuhan.
"Pengalaman Indonesia menggarisbawahi keterbatasan amnesti pajak secara umum. Ada bukti empiris bahwa amnesti pajak di berbagai negara yang dilaksanakan dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan keuntungan program ini secara umum rendah.
"Misalnya adalah soal penerimaan pajak, penurunan peserta dari waktu ke waktu, pandangan Wajib Pajak lain bahwa amnesti pajak tidak adil, rasa keengganan membayar pajak karena ada persepsi pemerintah akan kembali menerapkan amnesti, dan sebagainya. Dampak langsung dari amnesti pajak terbilang kecil dan dampak jangka panjangnya pun secara umum rendah," sebut makalah itu.
TIM RISET CNBC INDONESIA