
Februari Sudah Jatuh 4% Lebih, Rupiah Belum Bangkit Juga

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Mata uang Tanah Air terpuruk pada Februari sehingga punya ruang untuk bangkit.
Pada Senin (1/3/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.220 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Namun tidak lama kemudian rupiah melemah. Pada pukul 09:10 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.250 di mana rupiah terdepresiasi 0,07%.
Mata uang Ibu Pertiwi menutup perdagangan pasar spot Februari di posisi Rp 14.240/US$, terlemah sejak 5 November tahun lalu. Sepanjang Februari, rupiah terdepresiasi signifikan yaitu 4,32%.
Rupiah juga menyandang status sebagai mata uang utama Asia terlemah sepanjang bulan lalu. Saat mata uang Benua Kuning ramai-ramai menguat, rupiah (dan rupee India) malah merah.
Data ekonomi yang dirilis pagi ini tidak membantu rupiah. IHS Markit melaporkan, aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dari Purchasing Managers' Index (PMI) berada di 50,9 untuk periode Februari 2021. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula, jika di atas 50 maka dunia usaha masih melakukan ekspansi.
Akan tetapi, skor PMI manufaktur Tanah Air melorot dibandingkan Januari 2021 yang mencapai 52,2. Pencapaian Januari 2021 adalah yang terbaik dalam 6,5 tahun terakhir.
"Ada sinyal kesehatan sektor manufaktur yang terjadi sejak November 2020 memburuk. Produksi terus naik, hingga empat bulan berturut-turut, tetapi lajunya melambat. Perlambatan produksi berarti ada penurunan pasokan barang jadi," sebut keterangan tertulis IHS Markit.
Ditambah lagi, IHS Markit mencatat kondisi bisnis ekspor masih lesu. Ini sudah terjadi selama 15 bulan beruntun.
Akibatnya, prospek pendapatan devisa dari ekspor menjadi penuh tanda tanya. Dampaknya bisa merambat ke transaksi berjalan (current account) yang merupakan fondasi nilai tukar mata uang.
Pada kuartal IV-2020, transaksi membukukan surplus US$ 0,8 miliar atau setara 0,3% dari Produk Domestik Bruto. Lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu surplus US$ 1 miliar atau 0,4% PDB.
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan perolehan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pos ini menjadi penting karena memasok valas yang berjangka panjang, beda dengan arus modal di pasar keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Jadi dengan ekspor yang lesu, maka potensi pendapatan devisa dari sana pun begitu. Akibatnya, ruang penguatan rupiah jadi menyempit.
Halaman Selanjutnya --> The Fed Mulai Pikir-pikir Naikkan Bunga?
