Februari Sudah Jatuh 4% Lebih, Rupiah Belum Bangkit Juga

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 March 2021 09:23
Penukaran Uang Kusam
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Mata uang Tanah Air terpuruk pada Februari sehingga punya ruang untuk bangkit.

Pada Senin (1/3/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.220 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Namun tidak lama kemudian rupiah melemah. Pada pukul 09:10 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.250 di mana rupiah terdepresiasi 0,07%.

Mata uang Ibu Pertiwi menutup perdagangan pasar spot Februari di posisi Rp 14.240/US$, terlemah sejak 5 November tahun lalu. Sepanjang Februari, rupiah terdepresiasi signifikan yaitu 4,32%.

Rupiah juga menyandang status sebagai mata uang utama Asia terlemah sepanjang bulan lalu. Saat mata uang Benua Kuning ramai-ramai menguat, rupiah (dan rupee India) malah merah.

Data ekonomi yang dirilis pagi ini tidak membantu rupiah. IHS Markit melaporkan, aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dari Purchasing Managers' Index (PMI) berada di 50,9 untuk periode Februari 2021. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula, jika di atas 50 maka dunia usaha masih melakukan ekspansi.

Akan tetapi, skor PMI manufaktur Tanah Air melorot dibandingkan Januari 2021 yang mencapai 52,2. Pencapaian Januari 2021 adalah yang terbaik dalam 6,5 tahun terakhir.

"Ada sinyal kesehatan sektor manufaktur yang terjadi sejak November 2020 memburuk. Produksi terus naik, hingga empat bulan berturut-turut, tetapi lajunya melambat. Perlambatan produksi berarti ada penurunan pasokan barang jadi," sebut keterangan tertulis IHS Markit.

Ditambah lagi, IHS Markit mencatat kondisi bisnis ekspor masih lesu. Ini sudah terjadi selama 15 bulan beruntun.

Akibatnya, prospek pendapatan devisa dari ekspor menjadi penuh tanda tanya. Dampaknya bisa merambat ke transaksi berjalan (current account) yang merupakan fondasi nilai tukar mata uang.

Pada kuartal IV-2020, transaksi membukukan surplus US$ 0,8 miliar atau setara 0,3% dari Produk Domestik Bruto. Lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu surplus US$ 1 miliar atau 0,4% PDB.

Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan perolehan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pos ini menjadi penting karena memasok valas yang berjangka panjang, beda dengan arus modal di pasar keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati.

Jadi dengan ekspor yang lesu, maka potensi pendapatan devisa dari sana pun begitu. Akibatnya, ruang penguatan rupiah jadi menyempit.

Halaman Selanjutnya --> The Fed Mulai Pikir-pikir Naikkan Bunga?

Sementara dari sisi eksternal, pelaku pasar mulai menghitung-hitung peluang kenaikan suku bunga acuan di AS. Walau Jerome 'Jay' Powell. Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) baru-baru ini menyatakan kemungkinan suku bunga acuan tidak naik setidaknya dalam tiga tahun ke depan, tetapi pelaku pasar kok kurang percaya ya...

Masalahnya, ekonomi AS terus menunjukkan perbaikan. Pada pekan yang berakhir 20 Februari 2021, klaim tunjangan pengangguran tercatat 730.000, terendah sejak November 2020. Turun drastis 111.000 dibandingkan pekan sebelumnya dan jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 838.000.

"Stimulus fiskal yang diberikan pada Desember tahun lalu mulai berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja. Jadi stimulus selanjutnya akan sangat dinanti," kata Chris Low, Kepala Ekonom FHN Financial yang berbasis di New York (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Kemudian penjualan barang tahan lama (durable goods) pada Januari 2021 naik 3,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi laju kenaikan tercepat sejak Juli 2020.

Data itu memberi konfirmasi bahwa ekonomi Negeri Paman Sam dalam jalur yang benar untuk 'tinggal landas'. Ketika ekonomi pulih, lapangan kerja terbuka lebih luas, maka permintaan akan terdongkrak sehingga menciptakan tekanan inflasi.

The Fed punya target inflasi 2%, Ukuran inflasi bagi The Fed adalah Personal Consumption Expenditure (PCE) inti, yang per Januari 2021 adalah 1,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

Baca: Inflasi Kian Redup, Februari Diramal Cuma 0,08%

Namun jika ekonomi AS semakin kuat, permintaan kian mantap, maka bukan tidak mungkin target inflasi 2% akan tercapai dalam waktu dekat. Saat tekanan inflasi mulai terasa, maka The Fed tentu akan mempertimbangkan untuk mengurangi 'dosis' stimulus moneter. Awalnya adalah dengan mengurangi nilai pembelian surat berharga di pasar keuangan (quantitative easing) dan dilanjutkan dengan menaikkan Federal Funds Rate.

"Pelaku pasar yakin terhadap laju pemulihan ekonomi AS yang cepat dan meluas. Oleh karena itu, ekspektasi bahwa pengetatan (tapering) akan terjadi sudah terbentuk. Kami memperkirakan tapering akan dimulai pada akhir 2021," sebut riset ING.

Kenaikan suku bunga acuan akan membuat aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) kembali menarik karena menawarkan cuan yang lebih besar. Ini tentu bukan kabar baik bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Nasib rupiah jadi samar-samar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular