Jakarta, CNBC Indonesia - Nama Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK) mendadak menjadi perbincangan publik. Kehebohan ini terjadi selepas JK buka suara perihal pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta masyarakat lebih aktif mengkritik pemerintah.
"Bapak Presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah. Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi seperti yang dikeluhkan oleh pak Kwik atau siapa saja? Tentu itu menjadi bagian daripada upaya kita semua," kata JK saat berbicara dalam sebuah diskusi yang disiarkan kanal PKSTVRI, seperti dikutip CNBC Indonesia, Senin (15/2/2021)
Pernyataan JK di atas mengacu pada cuitan Kwik Kwan Gie, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid. Melalui akun Twitter resminya, Kwik mengaku takut mengemukakan pendapat berbeda dari pemerintah.
"Saya belum pernah setakut ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil," kata Kwik dalam cuitannya.
JK lantas meminta seluruh pemangku kepentingan terkait mengutamakan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Ia meminta agar hak masyarakat tetap terjaga demi menjaga iklim demokrasi yang baik.
"Kita harus menjaga kepentingan masyarakat, untuk ada tetap menjaga dari rakyat harus melihat pelaksanaan pemerintah yang baik secara demokratis, hak terjaga tapi juga ingin manfaatnya boleh saja demokrasi berjalan tanpa manfaat untuk rakyat itu tidak terjadi, maka demokrasi tidak berjalan dengan baik," katanya.
Tenaga Ahli Kepala Staf Kepresidenan Ade Irfan Pulungan menilai pernyataan JK terkesan ingin memprovokasi keadaan.
"Jadi sangat ironis sekali saya katakan, jika Pak Jusuf Kalla menyampaikan itu, dan disampaikannya dalam forum suatu partai, sepertinya dia ingin memanas-manasi atau memprovokasi keadaan untuk bisa memberikan arah kepada partai tersebut," kata Ade dalam keterangan tertulisnya kepada CNNIndonesia.com.
Ade meminta JK bisa memahami dan membedakan antara kritik, fitnah dan caci maki yang dilontarkan untuk pemerintah. Ia lantas mempertanyakan logika berpikir JK bila melontarkan pernyataan seperti demikian di forum parpol.
Ade menuturkan kebebasan berpendapat sudah diatur dalam aturan undang-undang di Indonesia. Menurutnya, siapapun bisa mengutarakan pendapat asalkan tak melanggar ketentuan pidana yang sudah diatur. Aparat penegak hukum, lanjut dia, sudah sepatutnya bertindak bila seseorang menyampaikan kritik disertai hujatan dan memenuhi unsur pidana.
"Itu sangat diatur oleh undang-undang, kalau ada kata-kata hujatan, caci maki, fitnah, ujaran kebencian tanpa ada bukti yang jelas dan telah memenuhi unsur-unsur pidana di dalamnya pasti aparat penegak hukum akan bertindak," kata Ade.
Menanggapi pernyataan tersebut, Juru Bicara JK, Husain Abdullah menegaskan, JK tidak sedikitpun memiliki niat untuk memprovokasi rakyat atau membuat runyam keadaan ketika mempertanyakan pernyataan Jokowi. Husain balik mempertanyakan bila pertanyaan JK itu dianggap provokasi. Jika bertanya saja dipersoalkan, kata dia, apalagi kalau mengkritik.
"Saya kira kita tidak perlu panas. Kalau bertanya saja sudah membuat panas, bagaimana pula kalau dikritik? Jadi sebaiknya ditanggapi secara konstruktif agar apa yang ingin dicapai pemerintah, yakni rakyat menyampaikan kritiknya secara baik dan benar sementara pemerintah menerimanya sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat," kata Husain saat dihubungi CNNIndonesia.com
Husain pun membeberkan, pertanyaan JK itu sebenarnya merupakan sebuah pandangan tokoh yang menyoroti indeks demokrasi Indonesia yang menurun berdasarkan survei The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam survei itu Indonesia dilaporkan menempati peringkat 64 dari 167 negara di dunia. EIU menyatakan skor indeks demokrasi Indonesia adalah 6,48 dalam skala 0-10.
Ia pun menyebut maksud JK saat itu adalah untuk menyoroti akar permasalahan indeks demokrasi Indonesia turun. JK, kata Husain, menyoroti pelbagai ihwal di antaranya mahalnya biaya demokrasi di Indonesia. Sebab menurut pandangan JK, untuk menjadi anggota parlemen atau Kepala Daerah butuh biaya yang tinggi.
"Sesudah kontestasi berlangsung, seorang politisi perlu mengembalikan investasinya. Saat itulah terjadi penurunan kualitas demokrasi. Ketika kualitas demokrasi menurun, terjadilah korupsi, itu kata Pak JK," jelas Husain.
Berita selengkapnya >>> Klik di sini
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD pun ikut buka suara perihal pernyataaan JK. Bahkan, Mahfud menyinggung suasana demokrasi pada era Jokowi-JK periode 2014-2019, di mana kala itu kritik terhadap pemerintah banyak mengalir.
"Zaman Pak JK itu kita masih ingat, ada misalnya Saracen, Muslim Cyber Army, ada Piyungan yang hampir setiap hari menyerang pemerintah," kata Mahfud dalam rekaman video yang diunggah Kemenko Polhukam.
"Kan ada di zaman Pak JK juga. Ketika mau ditindak orang ribut, ketika tidak ditindak juga orang ribut. Inilah demokrasi," tambah Mahfud.
Dalam video berdurasi tiga menit itu, Mahfud menegaskan pemerintah tidak bisa melarang siapapun melapor ke aparat kepolisian. Mahfud kemudian mencontohkan laporan polisi yang pernah dilayangkan keluarga Kalla.
"Bahkan juga keluarga Pak JK melapor ke polisi. Siapa itu? Ferdinand Hutahaen dilaporkan ke polisi karena nyebut apa?," jelas Mahfud.
Adapun laporan yang dimaksud Mahfud MD adalah laporan Muswirah Jusuf Kalla, putri kedua JK. Kala itu, Muswirah melaporkan Ferdinand yang kala itu kader Demokrat dan pemerhati sosial politik, Rudi Kamri ke Bareskrim Polri. Keduanya dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik melalui media sosial.
Terlepas dari hal itu, Mahfud memandang pernyataan JK tidak memiliki maksud bahwa setiap kritik yang disampaikan masyarakat kepada pemerintah akan berujung pada pelaporan kepada aparat.
"Konteksnya pernyataan Pak Jusuf Kalla, bukan Pak Jusuf Kalla itu ingin mengatakan sekarang ini kalau ngritik takut dipanggil polisi. Nyatanya juga tidak gitu," jelas Mahfud.