Royalti Nikel buat Baterai Dipertimbangkan Turun, Tapi Tak 0%

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
11 February 2021 20:15
A worker uses the tapping process to separate nickel ore from other elements at a nickel processing plant in Sorowako, South Sulawesi Province, Indonesia March 1, 2012. REUTERS/Yusuf Ahmad
Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah mengenakan royalti 0% untuk penambang batu bara yang melakukan hilirisasi. Kini muncul permintaan baru agar royalti 0% juga diberikan untuk komoditas nikel kadar rendah yang akan diolah menjadi produk bernilai tambah seperti komponen baterai.

Permintaan itu datang dari Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum (MIND ID) Orias Petrus Moedak.

Menanggapi usulan ini, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan bahwa pemerintah mempertimbangkan untuk memberikan royalti khusus bagi nikel kadar rendah untuk diproses menjadi komponen bahan baku baterai, namun kemungkinan tidak dalam besaran 0%.

"Kalau tentang turunkan royalti kadar rendah, ini sudah diproses di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tapi mungkin bukan 0% ya," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Kamis (11/02/2021).

Meski bukan royalti 0%, namun produsen nikel kadar rendah ini menurutnya akan mendapatkan keistimewaan karena akan melakukan hilirisasi, seperti untuk industri baterai.

"Tapi ada keistimewaan bagi mereka yang akan melaksanakan penggunaan nikel kadar rendah ini untuk proyek baterai," ujarnya.

Lebih lanjut Irwandy mengatakan, tujuan dari hal ini adalah agar proyek industri baterai ini bisa berjalan, dengan tingkat pengembalian modal (internal rate of return) dan net present value tetap positif.

"Sehingga, mereka bisa jalan baik dari segi finansial. Ini akan dimatangkan di Departemen (Kementerian) Keuangan," imbuhnya.

Irwandy menyebut insentif yang akan diberikan untuk nikel sama dengan batu bara, yakni insentif fiskal seperti royalti dan insentif non fiskal berupa kemudahan lain yang sudah diatur di dalam peraturan pemerintah.

Selain itu, dalam Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara juga sudah diatur bahwa bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi mineral dan batu bara, maka akan diberikan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan setiap 10 tahun sampai cadangan habis selama memenuhi syarat yang ditentukan.

"Dengan catatan kemajuan hilirisasinya, smelternya memenuhi persyaratan yang ada," tegasnya.

Nikel yang biasa digunakan oleh perusahaan smelter saat ini adalah nikel dengan kadar tinggi yakni di atas 1,7%, sementara untuk bahan baku baterai, bijih nikel yang digunakan adalah bijih nikel dengan kadar rendah yakni di bawah 1,7%.

Menurutnya, pemerintah akan memberikan insentif agar nikel kadar rendah ini bisa dimanfaatkan. Terlebih, lanjutnya, cadangan bijih nikel berkadar rendah jauh lebih besar dibandingkan cadangan nikel berkadar tinggi.

Dia menyebut, cadangan nikel berkadar rendah saat ini mencapai 3,6 miliar ton, sementara cadangan nikel berkadar tinggi hanya 900 juta ton.

"Tentunya hambatan-hambatan yang akan dibuka tidak hanya insentif, tapi ada beberapa persyaratan yang diinginkan industri, selama tidak mengganggu lingkungan," paparnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siap-Siap, Tarif Royalti Bijih Nikel Bakal Naik Jadi 14-19%!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular