Banking Outlook 2021

Peak Sudah Lewat, Era Pemulihan Dimulai!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
11 February 2021 11:33
Mural Covid-19 di Tengah PPKM Mikro (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Mural Covid-19 di Tengah PPKM Mikro (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 digadang-gadang sebagai tahun pemulihan dari krisis pandemi menyusul gencarnya vaksinasi di berbagai negara. Sektor keuangan pun berpeluang menemukan momen kebangkitan menyusul program vaksinasi dan pencairan stimulus.

Jejak luka-luka pandemi terhadap perekonomian terbaca dari kontraksi ekonomi pad kuartal IV-2020, yakni sebesar -2,19%. Secara tahunan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tersebut melemah 2,07% atau menjadi kontraksi tahunan pertama sejak tahun 1998.

Jika dilihat berdasarkan sektor atau lapangan usaha pembentuk PDB, sektor keuangan (dan asuransi) menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan bersama 7 sektor lain selama tahun pandemi 2020. Sektor tersebut berada di posisi teratas keempat dengan tumbuh 3,25% (setahun penuh).

Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas konsumsi, belanja, dan investasi baik yang dilakukan oleh rumah tangga, swasta, maupun pemerintah masih tumbuh, yang mewujud lewat transaksi keuangan dan permintaan atas produk dan jasa keuangan.

Dengan kata lain, sektor keuangan Indonesia bisa dibilang cukup defensif terhadap efek pandemi mengingat sektor lain yang bertumbuh adalah sektor yang mendapatkan berkah pandemi seperti jasa kesehatan (terkait perawatan kesehatan dan penanganan pandemi) dan jasa teknologi informasi (terkait aktivitas digital dan online).

Sejauh ini menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, pencairan kredit perbankan nasional masih terkontraksi, yakni sebesar -2,41%, pada 2020 lalu. Aktivitas pinjam-meminjam tertekan karena pelaku usaha masih belum berani berekspansi sementara pelaku rumah tangga memilih mengerem konsumsi.

Di sisi lain, restrukturisasi berujung pada "bersih-bersih" kredit senilai Rp 971 triliun atau 18% dari total kredit. Restrukturisasi atas 7,6 juta debitur Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan korporasi ini menurut hemat kami menjadi titik dasar efek pandemi terhadap sektor bank.

Rendahnya pertumbuhan kredit perbankan pada umumnya dipicu dua faktor: supply constraint berupa minimnya likuiditas perbankan dan suku bunga tinggi, serta demand constraint berupa lesunya permintaan pelaku usaha atau masyarakat.

Namun, faktor suplai tidak menjadi persoalan karena tahun lalu pelaku usaha perbankan tak memiliki problem likuiditas tiris-yang bisa menekan aktivitas pembiayaan, mengingat rasio pembiayaan terhadap dana simpanan (loan to deposit ratio/LDR) di kisaran 84%, alias longgar.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) berupaya membantu menggulirkan kredit dengan memangkas suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) lima kali sepanjang 2020, dari 5% menjadi 3.,75%. Langkah tersebut secara psikologis memberikan sinyal bagi pelaku usaha bahwa biaya kredit akan semakin turun, sehingga mereka bisa mengajukan pinjaman secepatnya.

Berdasarkan data OJK, rata-rata suku bunga kredit (SBK) perbankan hingga Desember 2020 turun ke single digit. SBK Kredit Modal Kerja turun 88 basis poin (bp) menjadi 8,88%, lalu SBK Kredit Investasi turun 102 bp ke 9,21%, dan SBK Kredit Konsumsi turun 65 bp menjadi 10,97%.

Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) seluruh segmen kredit juga telah berada di level single digit, yaitu SBDK ritel 8,88%, SBDK korporasi 8,75%, SBDK KPR 8,36%, SBDK non KPR 8,69%, dan SBDK Mikro 7,33%. Namun, pertumbuhan kredit pada 2020 masih tertekan, hingga -2,4%.

Dengan demikian, masih lambatnya permintaan kredit bukan dipicu oleh gangguan di sisi suplai pendanaan, melainkan lebih karena keraguan masyarakat dan pelaku usaha untuk mengambil pembiayaan di lembaga keuangan. Pandemi dan kontraksi ekonomi adalah problem nyata.

Lihat saja lonjakan simpanan masyarakat di 109 bank umum per Desember 2020 yang mencapai 10,86% (YoY) dibanding periode yang sama 2019 menjadi Rp 6.737 triliun. Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), kenaikan terus terjadi, dengan pertumbuhan bulanan (month on month/MoM) sebesar 0,53% (dari bulan November 2020).

Jumlah rekening simpanan per Desember 2020 juga naik, sebesar 16,12% (YoY), menjadi 350.324.950 rekening. Apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (November 2020), jumlah rekening perbankan naik 1,68% (MoM).

Secara bersamaan, menurut data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) terbaru (per November), kredit konsumsi melemah 0,16% menjadi Rp 1.540,4 triliun. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode yang sama di level 84,9 yang mengindikasikan bahwa masyarakat masih pesimistis dengan keadaan ekonomi, sehingga tak berani mengajukan kredit.

Dari kondisi tersebut, terlihat bahwa persoalan yang membelit kinerja penyaluran kredit bukan faktor teknis industri finansial, melainkan karena faktor ekonomi yang secara mendasar berakar pada problem (penanganan) pandemi.

Selama pembatasan sosial berlangsung, selama itu pula aktivitas konsumsi masyarakat-yang menyumbang 57% PDB nasional, bakal terhambat. Dalam skala makro, pelaku usaha pun mengerem aktivitas produksi dan ekspansi usaha mereka.

Meski demikian, ada tiga alasan bahwa pemulihan berpeluang muncul kuartal I-2021 tahun ini yang menurut hemat kami berpotensi membuat penyaluran kredit perbankan berpeluang kembali ekspansif di kisaran 3%, berbalik dari posisi 2020 yang melemah 2,4%.

Pertama, vaksinasi yang dipusatkan di kota-kota besar dan padat penduduk akan membantu Indonesia menekan penyebaran corona dan secara bersamaan penggunaan alat detektor GeNose membantu pergerakan publik melalui transportasi umum berjalan normal kembali.

Dari sisi pencegahan, pemerintah terus mempercepat program vaksinasi dan menargetkan 40,2 juta warga Indonesia bisa tervaksin pada April. Di sisi lain, GeNose yang saat ini diberlakukan untuk penumpang kereta juga membantu pencegahan penyebaran Covid-19.

Tidak heran, kasus aktif Covid-19 di Indonesia melandai 3 hari berturut-turut meski Dari sisi pengobatan, plasma konvalesen juga sejauh ini efektif menangani pasien Covid-19. Jika kasus baru covid terus melandai, ada harapan ekonomi mulai pulih di ujung kuartal I-2020 (Maret).

Kedua, AS juga kian dekat dengan kesepakatan stimulus senilai US$ 1,9 triliun yang ditujukan untuk mendongkrak konsumsi masyarakat dan membantu pelaku usaha untuk mengatasi tekanan pandemi.

Mengutip Hamid Rashid, Kepala UN's Global Economic Monitoring Branch, stimulus membuat ekonomi negara maju, yang menyumbang 80% PDB dunia, hanya minus 2.5%. Dia menilai stimulus  2021 harus menyasar masyarakat langsung dan bukan hanya menyediakan likuiditas.

Inilah yang sedang dijalankan Presiden AS Joe Biden dengan memasukkan bantuan langsung tunai (BLT) US$1.400 per kepala dalam paket stimulus perdananya itu. Jika stimulus berjalan sesuai koridor tersebut, PBB memperkirakan ekonomi dunia tahun ini akan tumbuh 4,7%.

Ketiga, aktivitas manufaktur China pada Januari masih ekspansif, meski melambat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Survei Caixin/Markit menunjukkan bahwa Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) berada di angka 51,5 pada Januari.

China sejauh ini menjadi negara tujuan ekspor utama Indonesia, dengan porsi nyaris 20%. Pemulihan sektor manufaktur mereka akan menggairahkan sektor strategis nasional seperti perkebunan, tambang, industri kimia dasar, hingga manufaktur.

Namun jika vaksinasi terkendala dan pembatasan sosial berlarut-larut, maka penyaluran kredit perbankan pun berpeluang hanya tumbuh di kisaran 2% karena terbantu efek tarikan dari pemulihan ekonomi negara maju.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular