Stimulus Ekonomi Seperti Nasi Padang: Tak Boleh Kebanyakan!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
10 February 2021 15:09
M Chatib basri Foto: Detikcom/ Ari Saputra
Foto: M Chatib basri Foto: Detikcom/ Ari Saputra

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan periode 2013 - 2014 Muhammad Chatib Basri memandang, Indonesia tidak boleh terlalu lama memulihkan ekonomi. Jika ekonomi terlalu lama lumpuh, stimulus yang berlebihan juga tidak baik untuk masa depan Indonesia.

Chatib mengibaratkan stimulus ekonomi seperti nasi padang. Kata dia, nasi padang bisa menjadi penyelamat ketika berbagai upaya gagal, namun bisa mengganggu kesehatan bila dikonsumsi berlebihan.

Chatib kemudian menggambarkan pemberian stimulus di Amerika Serikat (AS) dengan menengok risalah Aizenman dan Ito (2020) bertajuk 'National Bureau of Economic Research (NBER).

"Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang agresif memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi di AS dalam jangka pendek, tapi berisiko menimbulkan krisis keuangan ke depan," kata Chatib dalam opininya, dikutip CNBC Indonesia Rabu (10/2/2021).

Mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers, kata Chatib juga sudah memperingatkan stimulus Presiden AS Joe Biden sebesar US$ 1,9 triliun akan memicu inflasi. Negara-negara berkembang atau emerging market seperti Indonesia punya trauma tentang ini, yang dikenal dengan istilah taper tantrum.

Ketua The Fed, Jerome Powell juga sudah berusaha untuk tidak mengulanginya. Kata Powell, salah satu pelajaran penting dari krisis keuangan global adalah untuk tidak keluar dari stimulus terlalu cepat. Sementara Guru Besar Ekonomi dari Harvard University, Kenneth Rogoff juga memandang tidak melihat Taper Tantrum 2.0 akan terjadi.

"Pernyataan Powell dan Rogoff melegakan kita, setidaknya untuk sementara. Ia juga seperti menjawab kekhawatiran yang terjadi hampir delapan tahun lalu," jelas Chatib.

Menurut Chatib, perlu adanya kejelasan mengenai rencana tapering atau pengakhiran pembelian aset yang dilakukan The Fed. Apalagi, apabila Fed hanya fokus pada isu domestik di AS, seperti pengangguran dan inflasi.

Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi global akan terganggu, karena kontribusi perekonomian dari negara berkembang dalam pertumbuhan ekonomi global kian penting.

"Cara komunikasi The Fed memang berubah setelah dipimpin Yellen. Saya kira Powell belajar dari sana. Itu sebabnya, ia menekankan pentingnya komunikasi dalam kebijakan pembelian aset," jelas Chatib.

"Mengutip Rogoff, The Fed memang belum akan melakukan tapering sebelum inflasi di AS lebih dari 2%. Namun, jika inflasi berada di atas 2%, normalisasi kebijakan moneter bisa terjadi," kata Chatib melanjutkan.

Chatib sepakat, upaya mengatasi pandemi, penerapan protokol kesehatan dan vaksin menjadi kunci. Masalahnya, vaksinasi bisa memakan waktu. Salah satu kendala adalah tes PCR yang akses dan harganya masih terlalu mahal.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan sejak 13 Januari hingga 8 Februari 2021, jumlah vaksinasi tahap pertama tercatat 814.585 orang. Artinya rata-rata per hari sekitar 30.000. Padahal, dengan target vaksin 181,5 juta orang, per hari harus divaksinasi sekitar 497.000 orang.

"Angka ini jelas jauh lebih rendah dibandingkan dengan target. Kita paham, vaksinasi baru mulai. Belum lagi satu bulan. Ke depan, pertumbuhan bisa eksponensial. Namun, satu hal perlu dicatat: harus ada akselerasi yang signifikan jika kita ingin mengejar target tersebut," tutur Chatib.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Apa Yang Harus Dilakukan Indonesia?

Menurut Chatib ada beberapa hal yang harus diperhatikan Indonesia, apabila The Fed melakukan tapering dan mulai mengambil normalisasi kebijakan moneter. Chatib memandang, setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan Indonesia agar ekonomi bisa pulih.

Pertama, normalisasi tingkat bunga. Sayangnya tidak ada yang tahu kapan. "Kita hanya bisa meraba," ujarnya.

Pada Januari 2021 lalu, The Fed, kata Chatib sempat mengatakan bahwa arah perekonomian AS akan tergantung dari perkembangan situasi pandemi.

Dengan kata lain, bila proses vaksinasi di AS berhasil dan pandemi bisa diatasi, inflasi mulai naik di atas 2%. Disaat itu lah The Fed akan melakukan normalisasi kebijakan moneternya.

"Bila The Fed mulai mengurangi pembelian asetnya, imbal obligasi akan meningkat, tingkat bunga akan naik," jelas Chatib.

Akibatnya, sambung Chatib, ada risiko arus modal keluar dari negara berkembang, seperti Indonesia, yang pembiayaan defisit anggarannya didominasi oleh pinjaman eksternal, atau pembiayaan defisit transaksi berjalannya didominasi oleh investasi portofolio lebih rentan.

Bila terjadi kejutan di AS, investor akan keluar dari pasar obligasi dan pasar modal. Akibatnya nilai tukar rupiah berisiko terguncang.

"Untuk mengatasi ini, bank sentral biasanya melakukan kebijakan stabilisasi. Pilihannya, membiarkan rupiah mengikuti pasar {depresiasi rupiah} atau menaikkan bunga," ujarnya.

Akan ada kombinasi di mana tingkat bunga dinaikkan sedikit, nilai tukar melemah sedikit dan kebijakan pengaturan arus modal dilakukan secara terbatas melalui kebijakan makroprudensial.

"Ada risiko pertumbuhan ekonomi yang baru pulih, kembali anjlok. Stabilisasi ekonomi, ketika pertumbuhan rendah, bukan pilihan yang baik," jelasnya.

Kedua, Indonesia harus mendorong penanaman modal asing (PMA) di sektor ekspor. Jika pembiayaan defisit transaksi berjalan dalam bentuk PMA, aruz modal tidak akan mudah bergejolak.

Sebaliknya, bila pembiayaan defisit transaksi berjalan dalam bentuk portofolio, defisit transaksi berjalan akan terganggu karena modal dari luar akan begitu mudah meninggalkan Indonesia.

"Untuk mengurangi volatilitas sumber pembiayaan portofolio, melakukan pendalaman pasar dengan memberikan insentif agar lebih banyak sumber pembiayaan dari investor lokal, supaya porsi pembiayaan eksternal menurun. Perluas obligasi ritel atau private placement," kata Chatib.

Ketiga, Chatib juga menyarankan untuk menciptakan instrumen atau produk pasar keuangan, agar eksportir Indonesia memiliki opsi untuk menempatkan investasi portofolio dalam mata uang asingnya di Indonesia. Lebih baik eksportir atau investor Indonesia menempatkan dananya di dalam negeri ketimbang di luar negeri.

"Keempat, yang terpenting, Indonesia harus pulih lebih cepat, sebelum tapering terjadi," tegas Chatib.

"Studi yang saya lakukan juga konsisten dengan ini: investasi swasta tak akan meningkat jika mobilitas masih terganggu. Ekonomi tak akan bisa beroperasi 100 persen jika masalah kesehatan tak bisa diatasi," kata Chatib melanjutkan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular