▬▬ Setelah sekitar dua tahun terlibat perang dagang yang membuat ekonomi global merana, Amerika Serikat (AS) dan China sepakat untuk meneken perjanjian damai Fase I pada medio Januari 2020.
▬▬ Satu risiko besar, mungkin satu-satunya risiko besar pada 2019, sudah bisa dihapus dari daftar. AS-China berdamai, rantai pasok global membaik, prospek pertumbuhan ekonomi dunia pun kembali cerah.
▬▬ Sekitar pekan ketiga Januari 2020, datang kabar dari China. Di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, menyebar penyakit pneumonia baru yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2.
▬▬ Kebetulan yang luar biasa adalah penyakit itu datang saat warga Negeri Panda tengah merayakan musim liburan Tahun Baru Imlek.
▬▬ Ibarat Idul Fitri di Indonesia, Tahun Baru Imlek adalah puncak mobilitas rakyat China. Masyarakat berbondong-bondong keluar rumah untuk mudik ke kampung halaman dan pelesiran baik di dalam maupun luar negeri.
▬▬ Tanpa disadari, warga Wuhan yang pelesiran itu membawa virus corona ke penjuru negeri China dan seluruh dunia.
▬▬ Kini, penyakit yang diakibatkan oleh virus SARS-CoV-2 itu (yang dikenal dengan Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori. Jumlah penderita Covid-19 di seluruh negara tidak kurang dari 81 juta jiwa.
▬▬ Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 31 Desember 2020 adalah 81.522.819 orang. Sejak kasus pertama tercatat pada 4 Januari 2020, rata-rata tambahan pasien positif mencapai 225.201 orang setiap harinya.
▬▬ Untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus corona, berbagai negara mengedepankan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Sebisa mungkin kontak dan interaksi antar-manusia dikurangi, berbagai aktivitas yang bisa menyebabkan penumpukan jumlah orang ditahan dulu.
▬▬ Hasilnya, aktivitas perkantoran dan belajar-mengajar terpaksa harus dilakukan #dirumahaja. Pusat perbelanjaan, restoran, tempat wisata, aktiivtas penerbangan, dan sebagainya pun banyak yang belum bisa beroperasi. Miliaran penduduk bumi bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
▬▬ Aktivitas dan mobilitas penduduk yang berkurang drastis sama saja dengan menghentikan roda ekonomi. Produksi terhambat, permintaan pun seret. Ekonomi terpukul di dua sisi sekaligus, supply dan demand.
▬▬ Dari sinilah pandemi virus corona yang awalnya adalah masalah kesehatan menjelma menjadi krisis sosial-ekonomi. Hantaman pandemi membuat ekonomi dunia rontok, jatuh ke ‘jurang’ resesi untuk kali pertama sejak Krisis Keuangan Global 2009.
▬▬ Ekonomi dunia yang mati suri membuat investor di pasar keuangan global panik. Bursa saham berguguran.
▬▬ Pada 23 Maret 2020, indeks S&P 500 di Wall Street menyentuh titik terlemah sejak 2016.
▬▬ Seiring tingginya risiko di pasar, indeks VIX (yang sering disebut sebagai Indeks Ketakutan/Fear Index) sempat menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah..
▬▬ Kehancuran tidak hanya dialami pasar keuangan, tetapi juga komoditas. Harga berbagai komoditas anjlok, bahkan harga minyak dunia sempat negatif (kali pertama sepanjang sejarah). Artinya, investor yang membeli kontrak minyak malah diberi uang.
▬▬ Harga pangan dunia pun turun drastis. Pada Mei 2020, indeks harga pangan Organisasi Pangan Dunia (FAO) berada di titik terendah sejak 2016.
▬▬ Dalam situasi yang sangat tidak pasti, semua ingin mencari selamat masing-masing.
▬▬ Investor melepas aset-aset berisiko dan mengumpulan aset-aset aman (safe haven assets).
▬▬ Sempat ada masanya pelaku pasar betu-betul bingung, tidak tahu harus menempatkan dana di mana. Frasa uang adalah raja (cash is king) pun kembali populer, karena dalam kondisi yang serba tidak jelas memang yang terbaik adalah memegang uang tunai.
▬▬ Namun bukan sembarang uang tunai yang menjadi pilihan. Adalah dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi primadona. Maklum, greenback adalah mata uang global yang bisa menyelesaikan segala urusan. Ekspor-impor, investasi, pembayaran dividen, dan sebagainya bisa dituntaskan kalau ada dolar AS.
▬▬ Di sektor riil, dampak pandemi virus corona sangat terasa. Bahkan menjadi yang terdepan merasakan dampak ketimbang sektor keuangan, karena social distancing membuat aktivitas dan mobilitas masyarakat berkurang drastis.
▬▬ Aktivitas manufaktur yang diukur dari Purchasing Managers’ Index (PMI) sempat berada di titik terendah sepanjang sejarah pada April 2020.
▬▬ Di sektor transportasi, penerbangan jadi yang paling ‘berdarah-darah’. Penutupan perbatasan di banyak negara membuat sektor ini ‘mati suri’.
▬▬ Masih ketatnya perjalanan antar-negara membuat sektor pariwisata ambles. Di Indonesia, kunjungan wisatawa mancanegara (wisman) sempat anjlok menjadi hanya 489 kunjungan pada Mei 2020. Ini adalah rekor terendah sejak Badan Pusat Statistik (BPS) mulai melaporkan data transportasi dan pariwisata.
▬▬ Penjualan ritel yang mencerminkan daya beli masyarakat sebagai penopang perekonomian terus mengalami kontraksi.
▬▬ Indonesia mencatatkan kasus corona perdana pada awal Maret 2020. Sejak saat itu, jumlah pasien positif terus bertambah.
▬▬ Per 31 Desember 2020, jumlah pasien positifc corona di Indonesia mencapai 743.198 orang. Sejak corona mulai mewabah pada 1 Maret 2020, rata-rata pasien baru bertambah 2.428 orang setiap harinya.
▬▬ Di Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menerapkan kebijakan social distancing. Dalam kearifan lokal, namanya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku mulai akhir Maret 2020 seperti amanat Peraturan Presiden (PP) No 21/2020, belum dicabut.
▬▬ Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:
1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
2. Pembatasan kegiatan keagamaan.
3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
▬▬ PSBB memang agak dilonggarkan mulai awal Juni, tetapi tetap belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi. Pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening) masih bertahap dan wajib tunduk terhadap protokol kesehatan. Mobilitas masyarakat masih terbatas.
▬▬ Mengutip Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google, aktivitas warga di pusat perbelanjaan dan tempat rekreasi masih di bawah situasi normal sebelum pandemi. Begitu pula dengan kegiatan di lokasi transit dan tempat kerja.
▬▬ Sebagai negara berkembang, sejatinya laju inflasi yang tinggi adalah sebuah keniscayaan. Ini karena permintaan terus tumbuh sementara industri dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan.
▬▬ Jika laju inflasi melambat, maka biasanya menjadi kabar baik karena ada pertanda pasokan dalam negeri mulai mampu mengikuti laju pertumbuhan permintaaan.
▬▬ Namun dalam pandemi virus corona, kasusnya berbeda. Laju inflasi memanh rendah, tetapi lebih karena permintaan yang turun drastis.
▬▬ Lemahnya daya beli tercermin dari inflasi inti yang terus melambat. Inflasi inti kini berada di titik terendah sejak BPS melaporkan data ini pada 2004.
▬▬ Seperti halnya di negara lain, pasar keuangan Indonesia terkoreksi dalam akibat pandemi virus corona. Koreksi paling parah terjadi pada kuartal II-2020.
▬▬ Selepas kuartal II-2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menguat. Namun belum menutup kejatuhan yang terjadi sebelumnya sehingga secara year-to-date keduanya masih negatif.
▬▬ Ini membuat IHSG dan rupiah belum bisa menyusul para tetangganya yang sudah bisa membukukan kinerja positif.
▬▬ Seperti halnya pasar saham dan valas, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah juga pernah terkerek ke atas. Kenaikan yield menandakan harga obligasi turun karena maraknya aksi jual atau sepinya permintaan.
▬▬ Puncak kenaikan yield terjadi pada 24 Maret 2020. Kala itu, yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun mencapai 8,322%, tertinggi sejak November 2018.
▬▬ Premi risiko yang tercemin dari Credit Default Swap (CDS) juga sempat melonjak ke atas 200 basis poin (bps). CDS Indonesia tenor 5 tahun pernah menyentuh titik tertinggi sejak 2015.
▬▬ Perilaku mencari aman (flight to quality) membuat investor asing sempat menjauhi pasar keuangan Indonesia. Kepemilikan asing di SBN maupun pembelian di pasar saham mencatatkan penurunan.
▬▬ Per 30 Desember 2020, nilai kepemilikan asing di SBN adalah Rp 971,91 triliun. Masih jauh di bawah akhir 2019 yang mencapai Rp 1.077,06 triliun.
▬▬ Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 2,92 triliun hingga November 2020. Sepanjang 2020, hanya dua bulan investor asing mencatatkan beli bersih yaitu pada Januari dan Mei.
▬▬ Seiring pelambatan aktivitas ekonomi akibat PSBB, setoran pajak ikut seret. Sejak April, penerimaan pajak dalam negeri selalu mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif).
▬▬ Di sisi lain, pemerintah menganggarkan dana ratusan triliun rupiah untuk stimulus fiskal yang dinamai program Pemulihan Ekonomi Nasional.
▬▬ Program PEN yang bernilai ratusan triliun rupiah itu membuat pemerintah terpaksa melupakan sejenak disiplin fiskal ketat yang Indonesia mendapat pujian dari dunia. Dalam Undang-undang (UU) No 2/2020, pemerintah menyesuaian batasan defisit anggaran menjadi boleh di atas 3% dari PDB. Peraturan Presiden (Perpres) No 72/2020 menyebutkan defist Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini adalah Rp 1.039,22 triliun atau setara 6,34% PDB.
▬▬ Di tengah kelesuan setoran pajak akibat aktivitas ekonomi yang ‘mati suri’, pembiayaan utang di APBN mau tidak mau memang pasti meningkat. Apalagi ada peningkatan belanja karena program PEN. Per akhir Oktober 2020, total utang pemerintah mencapai Rp 5.877,71 triliun atau 37,84% dari PDB.
▬▬ Meski ekonomi domestik tertekan hebat, tetapi tanda-tanda kebangkitan mulai terlihat. Titik nadir ada pada kuartal II-2020, selepas itu berbagai indikator ekonomi domestik mulai membaik.
▬▬ Pada kuartal III-2020, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia memang masih terkontraksi. Namun ada kemungkinan ekonomi bisa tumbuh positif pada kuartal IV-2020.
▬▬ Sejumlah indikator mula (leading indicator) perekonomian nasional menunjukkan perbaikan. PMI manufaktur Indonesia bahkan sudah di atas 50 pada November 2020, pertanda bahwa dunia usaha sudah memasuki masa ekspansi.
▬▬ Keyakinan konsumen juga membaik meski belum mencapai level optimistis yaitu di atas 100. Pada Desember 2020, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada di 92, tertinggi sejak Maret 2020.
▬▬ Sementara penjualan mobil dan sepeda motor memang masih terkontraksi, bahkan cukup dalam. Namun sudah jauh membaik dibandingkan Mei 2020 yang anjlok 96%.
▬▬ Selepas kuartal II-2020, investor (termasuk asing) kembali melirik pasar keuangan Indonesia. Dersnya aliran modal membuat IHSG, rupiah, dan harga SBN terus menguat.
▬▬ Sejak awal akhir kuartal II-2020 hingga 31 Desember 2020, rupiah menguat 0,99% terhadap dolar AS secara point-to-point. Rupiah yang sempat di atas Rp 16.000/US$, kini semakin dekat ke bawah Rp 14.000/US$.
▬▬ Sementara IHSG meroket 21,08% sejak akhir kuartal II-2020. IHSG sudah kembali di atas level 6.000.
▬▬ Di pasar obligasi, yield SBN tenor 10 tahun anjlok 111,8 bps sejak akhir kuartal II-2020. Dalam periode tersebut, kepemilikan investor asing bertambah Rp 32,08 triliun.
▬▬ Dalam lelang SBN 17 November 2020, penawaran yang masuk mencapai Rp 104,68 triliun. Ini adalah yang tertinggi sejak lelang Agustus 2020.
▬▬ Bagaimana pun, semua nestapa ini berpangkal di aspek kesehatan yaitu penyebaran virus corona. Jadi kalau si biang kerok berhasil dienyahkan, maka keadaan pasti akan membaik.
▬▬ Vaksin akan membuat tubuh memiliki kekebalan dalam menangkal virus corona. Ketika sebagian besar populasi sudah menerima vaksinasi, akan tercipta kekebalan kolektif (herd immunity). Virus corona tidak punya ruang gerak lagi, sehingga rantai penularan bakal terputus. Masyarakat akan kembali merasa aman dan nyaman beraktivitas di luar rumah, roda ekonomi berputar lagi, selamat tinggal resesi…
▬▬ Indonesia sudah memulai tahapan vaksinasi, dengan Presiden Joko Widodo sebagai warga negara pertama yang menerima vaksin. Pemerinah menargetkan herd immunity bisa tercapai pada kuartal I-2022 di mana 181,5 juta penduduk sudah mendapat vaksin.
▬▬ Kehadiran vaksin dan harapan hidup kembali normal (meski bertahap) akan membuat prospek ekonomi Indonesia tahun depan cukup cerah. Bank Dunia, IMF, OECD, sampai ADB memberi proyeksi yang optimistis buat Indonesia.
▬▬ Seiring tren suku bunga rendah di negara-negara maju, berinvestasi di Indonesia tentu mendatangkan keuntungan yang lebih baik. Oleh karena itu, kemungkinan penguatan IHSG dan rupiah untuk berlanjut pada 2021 cukup terbuka.
▬▬ JPMorgan memperkirakan IHSG bisa menembus kisaran 6.800 tahun depan.
▬▬ Tren suku bunga rendah yang masih terasa tahun depan akan membuat aset-aset berisiko tetap menarik. Pasar saham masih akan menjanjikan keuntungan, terutama jika proyeksi IHSG bisa mencapai 6.800 terwujud. Artinya ada potensi keuntungan lebih dari 14% dari posisi sekarang.
▬▬ Tren suku bunga rendah (terutama di AS) juga akan membuat nilai tukar dolar AS semakin melemah. Saat dolar AS melemah, harga emas biasanya bergerak ke arah sebaliknya. Sebab emas adalah aset yang dibanderol dengan dolar AS, sehingga ketika dolar AS melemah maka sang logam mulia akan lebih murah di mata investor yang memegang mata uang lain. Permintaan emas akan meningkat dan harganya terkerek.
▬▬ Seiring perbaikan ekonomi dunia karen kehadiran vaksin dan aktivitas masyarakat yang berangsur normal, harga komoditas punya ruang untuk naik. Contoh, Fitch Solutions memperkirakan rata-rata harga minyak jenis light sweet pada 2021 berada di kisaran US$ 48/barel. Artinya, naik hampir 23% dibandingkan rata-rata 2020 yang sejauh ini adalah US$ 39,11/barel.
▬▬ Kenaikan harga komoditas juga akan mempengaruhi mata uang sejumlah negara yang ekonominya mengandalkan penjualan komoditas seperti Australia, dolar Kanada, dolar Selandia Baru, rubel Rusia, sampai riyal Arab Saudi. Apabila kenaikan harga komoditas terus terjadi, maka berbagai mata uang itu akan punya ruang untuk terapresiasi sehingga layak menjadi sarana investasi.
▬▬ Kebijakan moneter longgar yang ditempuh The Fed, kemungkinan akan adanya stimulus fiskal tambahan, hingga berita positif vaksin berpotensi membuat tren pelemahan dolar AS berlanjut pada 2021. Sepanjang 2020, indeks dolar melemah 6,7%. Tahun ini indeks dolar diperkirakan lanjut melemah 5-10%.
▬▬ Pelemahan dolar AS membuat investor beralih ke aset-aset yang memberikan keuntungan tebal, termasuk aset-aset keuangan di negara berkembang termasuk Indonesia mengingat yield yang ditawarkan di instrumen utang masih positif dan aset-aset ekuitasnya berpotensi memberikan return yang menarik.
▬▬ Dengan prospek perekonomian yang lebih baik akibat vaksin Covid-19, low based effect dan potensi aliran modal (inflow) yang besar ke Indonesia, aset-aset finansial Tanah Air masih mampu memberikan return sebesar 7-14% secara nominal atau 5-12% secara riil setelah dikurangi dengan proyeksi inflasi 2% tahun 2021. Aset keuangan berupa saham diprediksi masih akan memberikan imbal hasil yang terbesar.
▬▬ JPMorgan dalam risetnya yang bertajuk Make Indonesia Great Again memproyeksi IHSG bisa tembus 6.800 dengan asumsi pertumbuhan Earnings per Share (EPS) sebesar 34% dan menggunakan forward earnings multiple saat ini 16,7 kali dengan asumsi tidak ada re-rating/de-rating.
▬▬ Sektor-sektor yang terpuruk pada 2020 seperti properti dan real estate (penurunan suku bunga) dan infrastruktur dan telekomunikasi (adanya Omnibus Law, kehadiran Sovereign Wealth Fund, dan sentimen 5G) menarik untuk diperhatikan. Sektor keuangan terutama perbankan (prospek pertumbuhan ekonomi yang membaik) dan komoditas terutama komoditas tambang logam dasar seperti tembaga dan nikel (super cycle) juga layak untuk dipertimbangkan.
▬▬ Meskipun sektor-sektor tersebut mendapatkan katalis positif dengan tren dan berbagai kebijakan yang ada tetap saja investor harus memperhatikan risiko sektoralnya sebelum berinvestasi.
▬▬ Yield adalah hal yang langka. Bloomberg-Barclays Global Aggregate Negative Yielding Debt Index menunjukkan bahwa pasokan global surat utang dengan imbal hasil riil minus sudah mencapai US$ 17 triliun per awal November 2020.
▬▬ Dengan yield riil yang masih positif dan menjadi salah satu yang tertinggi dibanding negara emerging market lain, surat-surat utang pemerintah masih menjadi aset investasi yang menarik.
▬▬ Riset Mandiri Sekuritas menyebutkan bahwa yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun diproyeksikan mencapai 5,75-6% dengan imbal hasil di SBN rupiah berpeluang mencapai kisaran 6-8%.
▬▬ Hampir setengah dari ahli strategi valas yang disurvei Reuters berpandangan bahwa tren pelemahan dolar AS akan berlangsung lebih dari 1 tahun.
▬▬ Hal ini berarti akan menjadi sentimen positif untuk mata uang negara berkembang termasuk rupiah. JPMorgan memproyeksi rupiah bisa tembus Rp 13.500/US$ tahun ini. Jika dibandingkan dengan penutupan akhir 2020, maka ada potensi penguatan 3,85%. Apabila menggunakan rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang 2020 maka ada potensi apresiasi hampir 7%.
▬▬ Prospek pertumbuhan yang lebih baik dibarengi dengan kemungkinan aliran dana masuk memang akan membuat aset-aset finansial dalam negeri.
▬▬ Kenaikan kasus Covid-19 domestik maupun global yang bisa memicu pengetatan pembatasan mobilitas. Di Indonesia pemerintah memberlakukan pengatatan aktivitas dan moblitas di area Jawa dan Bali mulai 11-25 Januari 2021. Turis asing dilarang masuk ke Tanah Air mulai dari 1-14 Januari 2021.
▬▬ Efektivitas vaksin yang rendah hingga implementasi vaksinasi masal yang tidak sesuai dengan rencana serta target.
▬▬ Dampak pandemi Covid-19 yang sangat signifikan sehingga membutuhkan waktu lebih lama agar perekonomian bisa pulih kembali seperti sebelum pandemi.
▬▬ Pemulihan global yang berjalan lebih lambat sehingga dapat berdampak pada tren lanjutan pelemahan perdagangan dan turunnya harga komoditas.
▬▬▬▬
Naskah: Hidayat Setiaji, Tirta Citradi
Ilustrasi: Edward R Sianturi, Arie Pratama, Aristya Rahadian, Ariel Widjaja
Editor: Herdaru Purnomo