Stimulus Ekonomi Seperti Nasi Padang: Tak Boleh Kebanyakan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan periode 2013 - 2014 Muhammad Chatib Basri memandang, Indonesia tidak boleh terlalu lama memulihkan ekonomi. Jika ekonomi terlalu lama lumpuh, stimulus yang berlebihan juga tidak baik untuk masa depan Indonesia.
Chatib mengibaratkan stimulus ekonomi seperti nasi padang. Kata dia, nasi padang bisa menjadi penyelamat ketika berbagai upaya gagal, namun bisa mengganggu kesehatan bila dikonsumsi berlebihan.
Chatib kemudian menggambarkan pemberian stimulus di Amerika Serikat (AS) dengan menengok risalah Aizenman dan Ito (2020) bertajuk 'National Bureau of Economic Research (NBER).
"Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang agresif memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi di AS dalam jangka pendek, tapi berisiko menimbulkan krisis keuangan ke depan," kata Chatib dalam opininya, dikutip CNBC Indonesia Rabu (10/2/2021).
Mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers, kata Chatib juga sudah memperingatkan stimulus Presiden AS Joe Biden sebesar US$ 1,9 triliun akan memicu inflasi. Negara-negara berkembang atau emerging market seperti Indonesia punya trauma tentang ini, yang dikenal dengan istilah taper tantrum.
Ketua The Fed, Jerome Powell juga sudah berusaha untuk tidak mengulanginya. Kata Powell, salah satu pelajaran penting dari krisis keuangan global adalah untuk tidak keluar dari stimulus terlalu cepat. Sementara Guru Besar Ekonomi dari Harvard University, Kenneth Rogoff juga memandang tidak melihat Taper Tantrum 2.0 akan terjadi.
"Pernyataan Powell dan Rogoff melegakan kita, setidaknya untuk sementara. Ia juga seperti menjawab kekhawatiran yang terjadi hampir delapan tahun lalu," jelas Chatib.
Menurut Chatib, perlu adanya kejelasan mengenai rencana tapering atau pengakhiran pembelian aset yang dilakukan The Fed. Apalagi, apabila Fed hanya fokus pada isu domestik di AS, seperti pengangguran dan inflasi.
Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi global akan terganggu, karena kontribusi perekonomian dari negara berkembang dalam pertumbuhan ekonomi global kian penting.
"Cara komunikasi The Fed memang berubah setelah dipimpin Yellen. Saya kira Powell belajar dari sana. Itu sebabnya, ia menekankan pentingnya komunikasi dalam kebijakan pembelian aset," jelas Chatib.
"Mengutip Rogoff, The Fed memang belum akan melakukan tapering sebelum inflasi di AS lebih dari 2%. Namun, jika inflasi berada di atas 2%, normalisasi kebijakan moneter bisa terjadi," kata Chatib melanjutkan.
Chatib sepakat, upaya mengatasi pandemi, penerapan protokol kesehatan dan vaksin menjadi kunci. Masalahnya, vaksinasi bisa memakan waktu. Salah satu kendala adalah tes PCR yang akses dan harganya masih terlalu mahal.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan sejak 13 Januari hingga 8 Februari 2021, jumlah vaksinasi tahap pertama tercatat 814.585 orang. Artinya rata-rata per hari sekitar 30.000. Padahal, dengan target vaksin 181,5 juta orang, per hari harus divaksinasi sekitar 497.000 orang.
"Angka ini jelas jauh lebih rendah dibandingkan dengan target. Kita paham, vaksinasi baru mulai. Belum lagi satu bulan. Ke depan, pertumbuhan bisa eksponensial. Namun, satu hal perlu dicatat: harus ada akselerasi yang signifikan jika kita ingin mengejar target tersebut," tutur Chatib.
HALAMAN SELANJUTNYA >> Apa Yang Harus Dilakukan Indonesia?