Kisah Pertamina dari Rugi Jadi Untung di 2020 dan Reaksi Ahok

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
05 February 2021 15:08
Pertamina
Foto: Pertamina

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) mencatatkan laba di atas US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$) pada 2020. Kondisi ini berbanding terbalik dengan capaian pada semester I 2020 di mana perseroan mencatatkan kerugian sebesar US$ 767,92 juta atau setara Rp 11,33 triliun (asumsi kurs Rp 14.766 per US$).

Untuk membalikkan situasi dalam kurun waktu enam bulan, tentunya membutuhkan strategi jitu.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya memanfaatkan peluang saat rendahnya harga minyak mentah dunia pada awal pandemi Covid-19 pada April-Mei 2020 untuk mengimpor Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan demikian, saat harga minyak dunia kembali naik, terutama saat semester kedua 2020, biaya pokok produksi perseroan bisa ditekan.

"April-Mei kita beli minyak dalam jumlah besar dan disimpan di landed storage dan kapal, sehingga berdampak ke penurunan biaya pokok produksi," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, perseroan juga terus melakukan penyesuaian dan efisiensi selama 2020, sehingga menekan biaya.

"Jadi, sektor energi harus melakukan efisiensi di 2020, untuk adjustment ke kondisi yang ada," ujarnya.

Dia pun mengatakan, perseroan melakukan efisiensi di semua bidang, seperti memotong biaya operasi (Operating Expense/ opex) sebesar 30% dan memprioritaskan anggaran untuk investasi.

"Laba bersih US$ 1 miliar (pada 2020), upaya yang dilakukan adalah meningkatkan produktivitas hulu migas dan kilang, serta efisiensi di semua bidang (pemotongan opex 30% dan prioritaskan anggaran investasi)," imbuhnya.

Nicke mengatakan perseroan mengalami tiga hantaman luar biasa pada awal pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Tiga hantaman ini biasa disebut dengan triple shocks, berupa anjloknya harga minyak, jatuhnya permintaan minyak, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Pada awal pandemi tahun lalu, harga minyak menyentuh ke titik terendah pada April-Mei, bahkan harga minyak WTI sempat tercatat minus. Lalu, dari sisi permintaan minyak, saat awal pandemi di kala pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi aktivitas masyarakat, permintaan bahan bakar minyak secara nasional menurutnya turun hingga 25%. Bahkan, di sejumlah kota besar, penurunan permintaan BBM sempat anjlok lebih dari 50%.

Begitu juga dari sisi nilai tukar rupiah, saat awal pandemi sempat melemah, sehingga menurutnya ini berdampak cukup signifikan kepada bisnis sektor energi.

Kondisi ini tak ayal membuat kinerja keuangan perseroan pada semester I 2020 anjlok menjadi US$ 767,92 juta atau setara Rp 11,33 triliun (asumsi kurs Rp 14.766/ US$). Perolehan ini berbalik dibandingkan semester I 2019 di mana Pertamina tercatat membukukan laba bersih US$ 659,96 juta atau setara Rp 9,7 triliun.

Pada semester I-2020 total penjualan Pertamina drop 19,84% menjadi US$ 20,48 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat US$ 25,55 miliar.

Nilai penjualan dalam 6 bulan pertama tahun ini setara dengan Rp 302,41 triliun.

Sementara itu, total beban pokok penjualan dan beban langsung turun 14,15% menjadi US$ 18,87 miliar. Tahun lalu, jumlah pos ini tercatat sebesar US$ 21,98 miliar.

Nicke mengakui capaian kinerja keuangan perseroan yang berhasil mencetak laba di atas US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun pada 2020 merupakan capaian yang membanggakan, terutama di tengah perusahaan migas global dunia menorehkan kerugian sepanjang 2020.

"Dan yang tidak kalah pentingnya adalah walaupun terkena triple shocks karena Covid-19 di tahun 2020, Pertamina berhasil membukukan keuntungan di atas US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun, di saat perusahaan-perusahaan migas dunia mengalami kerugian besar," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (04/02/2021).

Seperti diketahui, Exxon Mobil Corporation, Chevron Corporation, dan BP melaporkan kinerja keuangan mereka yang melemah sepanjang 2020. Ketiganya mencatatkan kerugian selama 2020.

BP, perusahaan migas asal Inggris, membukukan rugi bersih sebesar US$ 5,7 miliar selama 2020, anjlok signifikan dibandingkan dengan capaian laba bersih sebesar US$ 10 miliar pada 2019, seperti dikutip dari CNBC International, Selasa (02/02/2021).

Sementara Exxon Mobil mencatatkan kerugian sebesar US$ 20,1 miliar selama kuartal keempat 2020, menandai kerugian empat kuartal berturut-turut karena raksasa energi itu bergulat dengan dampak pandemi.

Chevron pun membukukan kerugian US$ 11 juta pada kuartal keempat 2020, membuat total kerugian selama 12 bulan sepanjang 2020 mencapai US$ 5,54 miliar, dibandingkan pencapaian laba sebesar US$ 2,92 miliar pada 2019.

Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pun mengapresiasi capaian kinerja perseroan ini.

Ahok tak segan menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dewan Direksi atas capaian ini.

"Berterima kasih kepada Dewan Direksi (atas capaian laba)," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (04/02/2021).

Dia pun mengapresiasi Dewan Direksi yang bekerja sama baik dengan Dewan Komisaris (Dekom), terutama dalam mengupayakan sejumlah penghematan di masa pandemi Covid-19.

"Berterima kasih kepada Dewan Direksi yang bekerja sama dengan baik dengan Dekom dalam melakukan penghematan di masa pandemi seperti ini," imbuhnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular