OUTLOOK ENERGI 2021

Konsumsi Minyak & Listrik Membaik, Transisi EBT Bagaimana?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
04 February 2021 08:15
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tanjung Priok
Foto: Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tanjung Priok (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rerata harga minyak mentah dunia sepanjang tahun ini berpeluang menguat ke kisaran US$ 55 per barel menyusul pemulihan ekonomi. Di sisi lain, penggunaan energi terbarukan menunggu dukungan kebijakan pemerintah untuk mencapai target bauran nasional.

Mayoritas kalangan sepakat pertumbuhan permintaan minyak tahun ini bakal lambat karena efek Covid-19. Perusahaan riset energi Platts Analytic memperkirakan konsumsi minyak mentah bertambah 6 juta barel per hari (bph) di 2021 dan balik ke level sebelum pandemi pada 2022.

Permintaan minyak tahun ini bakal di kisaran 99,3 juta bph, setelah tahun lalu turun 8,8 juta bph ke 93,1 juta bph, demikian Platts menyebutkan dalam proyeksi terbaru pasar minyak bulanan. Proyeksi tersebut direvisi 280.000 bph lebih rendah dari estimasi awal.

Sebagaimana proyeksi Tim Riset CNBC Indonesia, rerata harga minyak mentah sepanjang 2020 berada di kisaran US$ 40/barel menyusul anjloknya mobilitas global akibat pandemi. Rerata harga minyak Brent di US$ 43,1/barel dan West Texas Intermediate (WTI) di US$ 39,4/barel.

Untuk kuartal I-2021, Platt memperkirakan permintaan minyak bakal terpangkas 700.000 bph menjadi 95,1 juta bph menyusul restriksi sosial di beberapa negara dan ditundanya izin peringatan tahun baru Imlek di China. Lalu pada kuartal II-2021, efek vaksinasi diharapkan mulai membantu konsumsi harga minyak dunia dengan tambahan 11,7 juta bph.

Senada dengan itu, International Energy Agency (IEA) memangkas estimasi pemulihan permintaan minyak dunia tahun ini untuk ketiga kalinya, menyusul kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan tantangan vaksinasi. Permintaan minyak dunia tahun ini diperkirakan berkisar 96,6 juta bph, atau bertambah 5,5 juta bph dari tahun 2020.

Lebih konservatif, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) memperkirakan permintaan minyak dunia hanya 95,91 juta bph pada 2021, bertambah 5,9 juta bph dari angka tahun lalu. Sebelumnya, OPEC memperkirakan permintaan minyak tahun ini sebesar 95,89 juta.

Meski mematok estimasi konsumsi minyak lebih tinggi dari proyeksi IEA dan OPEC, Platts justru memperkirakan rerata harga minyak Brent bakal di angka US$56,3 per barel. Ini lebih rendah dari proyeksi Goldman Sachs (US$ 65/barel) dan UBS (US$ 60/barel) untuk pertengahan 2021.

Pemicunya, Arab Saudi secara mengejutkan memangkas produksi minyaknya hingga 1 juta bph pada Februari dan Maret. Namun, proyeksi tersebut belum memasukkan risiko konflik militer antara Iran dan Israel yang menurut hemat kami bisa membawa minyak ke level US$ 70/barel.

Sebaliknya, jika Amerika Serikat (AS) mencabut sanksi atas Iran, akan ada tambahan pasokan minyak 4,5 juta barel ke pasar, yang bisa menekan kembali harga ke level US$ 45/barel.

Jika mengacu pada proyeksi perusahaan jasa minyak global Baker Hughes, permintaan energi di Indonesia berpeluang membaik pada semester II-2021. Efek restriksi sosial kemungkinan hanya akan membebani permintaan energi pada paruh pertama tahun ini.

Menghadapi kondisi demikian, PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus menyiapkan extra cash pada semester kedua karena permintaan yang meningkat akan berujung pada pengeluaran ekstra akibat kenaikan harga komoditas energi dunia.

Sejauh ini, biaya bahan bakar menyumbang 70% dari beban produksi atau pembangkitan listrik nasional. Di sisi lain, data Dewan Energi Nasional (DEN) menyebutkan minyak bumi masih menyumbang 34,4% dari bauran energi primer (per semester I-2020).

Selama pandemi, PLN mencatatkan fenomena menarik di mana konsumsi listrik rumah tangga (yang menyumbang 47% penjualan PLN) justru melonjak 9,96%. Sebaliknya, segmen bisnis (penyumbang 17% penjualan PLN) anjlok 8,6% dan segmen industri (sumbang 29%) minus 7,5%.

qSumber: PLN

Hal ini terkait dengan perubahan aktivitas masyarakat. Kebijakan working from home (WFH) mendorong karyawan bekerja di rumah, sehingga konsumsi listrik perkantoran menurun sementara listrik rumah tangga naik.

Selama ini, pelanggan rumah tangga memang menjadi pasar utama PLN. Dengan rasio elektrifikasi mencapai 99,18%, PLN menjangkau 78,3 juta pelanggan di seluruh pelosok nusantara. Dari angka tersebut, 72 juta di antaranya merupakan pelanggan rumah tangga.

Di sisi lain, konsumsi listrik di industri turun akibat kontraksi ekonomi yang menurunkan permintaan. sehingga pabrik mengurangi produksi. Ini menjadi tantangan bagi PLN karena meski porsi pelanggan dan bisnis sangat kecil (tidak sampai 4 juta), tetapi nilai pembelian mereka mencapai dua pertiga pemasukan PLN.

Sampai dengan November 2020, PLN mencatat pertumbuhan konsumsi listrik sebesar 0,05% menjadi 221,9 terrawatt per hour (TWh). Meski melemah dibandingkan periode 2019 yang sebesar 243,1 TWh, angka tersebut masih mendingan karena ekonomi saat itu minus 3,49%.

Ini mengindikasikan bahwa permintaan listrik mulai pulih jelang penghujung tahun 2020. Dalam sebulan itu, konsumsi listrik nasional tercatat sebesar 20,9 TWh. Bandingkan dengan konsumsi listrik April dan Mei-ketika terjadi pembatasan sosial-yang hanya 19,4 TWh dan 18,6 TWh.

Oleh karenanya, tidak berlebihan jika PLN memperkirakan penjualan listrik pada tahun ini akan mencapai 255 TWh atau tumbuh 4,08% dari tahun 2020 (245 TWh). Dalam kondisi normal, pertumbuhan konsumsi listrik rata-rata sebesar 5,5%. Sebagai perbandingan, DEN memperkirakan pertumbuhan konsumsi listrik pada tahun ini akan sebesar 5%. 

Lalu bagaimana dengan kabar pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) yang ditargetkan minimal 23% dari bauran energi 2025? Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan porsi EBT di bauran energi nasional 2020 hanya 11,5%, dari target 13,4%.

Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah target porsi EBT tahun ini yang dipatok dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) akan bisa dicapai? Sebagai catatan, RUEN membidik porsi EBT 14,5% pada 2021, sementara batu bara 35,5%, minyak bumi 28,1%, dan gas bumi 21,1%.

Jika mengacu pada rata-rata pertumbuhan porsi EBT sebesar 1,5% dalam 3 tahun terakhir, maka dalam proyeksi konservatif, sumbangan EBT dalam bauran energi primer tahun ini hanya akan mencapai 13%, dan bukannya 14,5%.

Bagi PLN, yang tengah menyetop kontrak baru pembelian listrik di tengah permintaan yang drop akibat pandemi, ini menjadi tantangan pelik. Berdasarkan simulasi PLN, perlu tambahan pasokan pembangkit EBT sebesar 18% untuk memenuhi target bauran EBT di Jawa Bali.

qSumber: DEN

Untuk bisa mengejar target itu, PLN berencana melakukan co-firing (penggunaan biomassa) pada pembangkit PLTU yang ada, di samping menambah kuota pembangkit EBT variabel khususnya PLTB (tenaga bayu) dan PLTS (tenaga surya) mencapai 2.180 MW.

Namun, ini adalah solusi jangka pendek karena PLTB dan PLTS memiliki kendala intermitensi sehingga dalam jangka panjang tetap memerlukan base load (pembangkit dengan produksi listrik menetap) berupa PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) atau geothermal.

Indonesia saat ini memiliki 40% cadangan geothermal dunia, sebanyak 17.506 Megawatt listrik (MWe), dari total potensi sebesar 23,9 gigawatt (menurut Badan Geologi Nasional). Namun cadangan tersebut yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 12% saja.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, kapasitas terpasang PLTP pada 2020 mencapai 2.130,7 MW, tidak berubah dari kapasitas terpasang pada 2019. Bila 196 MW beroperasi tahun ini, berarti total kapasitas terpasang PLTP hingga 2021 ini akan meningkat menjadi 2.326,7 MW.

Ironisnya, PLTP justru sedang disorot karena kebocoran gas beracun di proyek Sorik Marapi (Mandailing, Natal, Sumatera Utara) yang menelan lima korban jiwa.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular